Jakarta – Ketua Umum PDIP sekaligus Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional harus dilakukan dengan kehati-hatian dan tidak boleh "gampangan".
Pernyataan ini disampaikannya dengan terlebih dahulu menceritakan perjuangan panjangnya untuk mencabut Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang menyangkut ayahnya, Presiden pertama RI Sukarno.
Megawati bercerita saat menjadi keynote speaker dalam seminar internasional peringatan ke-70 tahun Konferensi Asia Afrika di Perpustakaan Bung Karno, Blitar, Jawa Timur, Sabtu, 31 Oktober 2025.
"Bayangkan saya tiap kali diam pergi terus ke Setneg hanya untuk menanyakan ini TAP itu mau diapakan, kalau Bung Karno bersalah harusnya demi keadilan maka dia boleh dong dimasukan ke dalam pengadilan untuk menunjukkan apa dia bersalah atau tidak. Tapi saya terus berjuang akhirnya, pada tanggal, akhirnya MPR kan membatalkan," kata Megawati.
Ia memuji sikap Bung Karno yang memilih diam dan tidak melawan untuk menghindari perang saudara.
"Dia diam. Saya tanya kenapa bapak tidak melawan ? Kalau melawan pasti terjadi yang namanya perang saudara... itu sebetulnya pemimpin yang luar biasa bagi saya," ujarnya.
Berdasarkan pengalaman pahit itulah, Megawati lantas menyampaikan pesannya tentang kriteria pemberian gelar pahlawan.
"Terus sekarang Republik Indonesia ini unik lhoh, apa? Proklamator, bapak bangsa, terus ini opo? Pahlawan. Lah kasih kan ya mbok hati-hati loh kalau mau jadiin pahlawan iku loh, jangan gampang dong. Kalau Pak Bung Karno bener pahlawan, karena saya berani bertanggungjawab, dia nggak ditahan, dia diisolasi saja," tegasnya.
Megawati mempertanyakan logika jika seorang dituduh melakukan kesalahan, tetapi tidak pernah diadili secara jelas.
"Sudah meninggal loh, terus masak ini TAP mau diterusin terus nggak tahu isinya ada, tapi tidak di-clearkan betul kah kesalahannya apa. Bayangkan, logika berpikir, dia presiden seumur hidup tapi TAP-nya bunyinya sepertinya dia mau kudeta. Kudeta sopo?" ujarnya.
Usai acara, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dimintai tanggapan mengenai apakah pesan Megawati itu terkait usulan pemberian gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Hasto tidak menjawab langsung, tetapi menjelaskan bahwa sosok pahlawan haruslah seorang yang memiliki terobosan bagi kemerdekaan dan tidak mengkhianati nilai kemanusiaan.
"Sosok pahlawan harus memiliki suatu terobosan... kemudian bukan mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan apalagi kemudian punya catatan yang di dalam upaya untuk membungkam rakyatnya sendiri yang seharusnya dilindunginya," ujar Hasto.
Ketau ditanya lebih lanjut tentang sikap PDIP terhadap usulan gelar untuk Soeharto, Hasto secara gamblang menyinggung catatan pelanggaran HAM yang kerap dikaitkan dengan rezim Orde Baru.
"Ya, kami mendengarkan masukan-masukan dari civil society... Prof Mahfud ketika menjadi Menko Polkam juga memberikan catatan tentang pelanggaran HAM, tentu saja ini menjadi bagian dari sikap PDIP yang tadi disampaikan ibu Megawati jangan begitu mudah untuk memberikan gelar pahlawan," pungkas Hasto, menegaskan sikap partainya yang selaras dengan pesan ketua umumnya.[]