Medan - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut, menyebut tujuh perusahaan sebagai pihak yang diduga menjadi penyebab utama bencana ekologis yang melanda kawasan Tapanuli Raya saat ini.
“Kami mengindikasikan tujuh perusahaan sebagai pemicu kerusakan karena aktivitas eksploitatif yang membuka tutupan hutan Batang Toru,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sumut Rianda Purba, di Medan pada Rabu, 26 November 2025 lalu.
Perusahaan yang dimaksud:
1.PT Agincourt Resources – Tambang emas Martabe
2.PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) – PLTA Batang Toru
3.PT Pahae Julu Micro-Hydro Power – PLTMH Pahae Julu
4.PT SOL Geothermal Indonesia – Geothermal Taput
5.PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) – Unit PKR di Tapanuli Selatan
6.PT Sago Nauli Plantation – Perkebunan sawit di Tapanuli Tengah
7.PTPN III Batang Toru Estate – Perkebunan sawit di Tapanuli Selatan
Ketujuhnya beroperasi di atau sekitar ekosistem Batang Toru, habitat orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, tapir, dan spesies dilindungi lainnya.
Lalu ini rincian kerusakan lingkungan oleh tujuh perusahaan itu
PT Agincourt Resources
Sepanjang 2015–2024, perusahaan ini telah mengurangi tutupan hutan dan lahan sekitar 300 hektare di DAS Batang Toru.
Lokasi TMF (Tailing Management Facility) berada sangat dekat Sungai Aek Pahu yang mengaliri Desa Sumuran.
Warga menyampaikan bahwa sejak beroperasinya PIT Ramba Joring, air sungai sering kali keruh saat musim hujan.
PLTA Batang Toru (PT NSHE)
Proyek PLTA telah menyebabkan hilangnya lebih dari 350 hektare tutupan hutan di sepanjang 13 kilometer daerah sungai, serta gangguan fluktuasi debit sungai.
Sedimentasi tinggi akibat pembuangan limbah galian terowongan dan pembangunan bendungan dan potensi polusi sungai bila limbah galian mengandung unsur beracun.
"Video luapan Sungai Batang Toru di Jembatan Trikora menunjukkan gelondongan kayu dalam jumlah besar. kami mensinyalir kayu-kayu tersebut berasal dari area pembangunan infrastruktur PLTA," kata Rianda.
PT Toba Pulp Lestari (PKR)
Ratusan hingga ribuan hektare hutan di DAS Batang Toru telah beralih fungsi menjadi Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) yang ditanami eukaliptus, terutama di Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan.
Skema PHAT (Pemanfaatan Kayu Tumbuh Alami)
Pembukaan hutan melalui skema PHAT menjadi salah satu pemicu banjir bandang.
Kawasan koridor satwa yang menghubungkan Dolok Sibualbuali–Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat telah terdegradasi sedikitnya 1.500 hektare dalam tiga tahun terakhir.
Rianda menegaskan bahwa banjir bandang dan longsor bukan sekadar akibat hujan ekstrem.
“Setiap banjir membawa kayu-kayu besar, dan citra satelit menunjukkan hutan gundul di sekitar lokasi. Ini bukti campur tangan manusia melalui kebijakan yang memberi ruang pembukaan hutan,” katanya.
Ia menambahkan, “Ini adalah bencana ekologis akibat kegagalan negara mengendalikan kerusakan lingkungan.”
Secara khusus dia memberikan catatan untuk PT Agincourt Resources. Berdasarkan Amdal, PT Agincourt Resources memproduksi 6 juta ton emas per tahun, dan berencana meningkatkan kapasitas menjadi 7 juta ton dengan membuka 583 hektare lahan baru untuk fasilitas tailing, termasuk penebangan 185.884 pohon.
Investigasi Walhi menemukan bahwa sekitar 120 hektare sudah dibuka. Dokumen dampak lingkungan perusahaan itu sendiri mencantumkan risiko, berupa perubahan pola aliran sungai, peningkatan limpasan, penurunan kualitas air, hilangnya vegetasi, rusaknya habitat satwa.
Untuk itu kata dia, Walhi Sumut menegaskan, kehadiran industri ekstraktif telah menyebabkan deforestasi yang mengorbankan lingkungan dan masyarakat.
Walhi menuntut pemerintah untuk menghentikan aktivitas industri ekstraktif di Ekosistem Batang Toru, di antaranya mengevaluasi dan mencabut izin PT Agincourt Resources, mengevaluasi dan menghentikan proyek PLTA Batang Toru (NSHE).
Menutup dan mencabut izin PT Toba Pulp Lestari, termasuk praktik PKR, menghentikan aktivitas keempat perusahaan lain yang disebut sebelumnya serta menindak tegas pelaku perusakan lingkungan, termasuk tujuh perusahaan yang diindikasikan merusak hutan dan lahan di DAS Batang Toru.
Walhi juga mendorong ditetapkannya kebijakan perlindungan Ekosistem Batang Toru, melalui RTRW Kabupaten, Provinsi, dan Nasional secara terpadu, memastikan kebutuhan dasar para penyintas, serta mengevaluasi wilayah rawan bencana untuk memitigasi kejadian serupa. []