Jakarta - AIDEA Weeks 2025 memasuki pekan kedua dengan rangkaian diskusi yang menggali lebih dalam hubungan antara kecerdasan buatan dan ekspresi manusia. Forum publik bertajuk "Embracing The New Age of AI" ini menghadirkan perspektif baru tentang seni visual, musik, dan pelestarian budaya di era digital.
Setelah sebelumnya fokus pada masa depan pekerjaan dan produktivitas kreatif, pekan ini menyoroti dinamika yang muncul ketika teknologi AI bersinggungan dengan identitas kreatif, hak cipta, dan nilai-nilai budaya.
Dalam sambutan pembukaan, Wakil Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Giring Ganesha Djumaryo menegaskan bahwa AI harus menjadi alat pendukung pemajuan kebudayaan, bukan pengganti seniman dan budayawan.
Pernyataan ini menjadi landasan diskusi yang berlangsung selama tiga sesi utama, masing-masing menghadirkan akademisi, seniman, musisi, dan praktisi budaya untuk membahas peluang dan tantangan dalam ekosistem yang terus berevolusi.
"Di Kementerian Kebudayaan, posisi kami jelas. Kami ingin Al mendukung pemajuan kebudayaan, bukan menggantikan budayawan dan seniman," ucap Giring, dikutip Opsi pada Senin, 17 November 2025.
"Al harus menjadi alat yang bisa digunakan oleh masyarakat, bukan sesuatu yang membuat mereka kehilangan identitas budaya," kata dia.
Sesi pertama membahas dampak AI terhadap seni visual. Di era ketika AI mampu menghasilkan karya dalam hitungan detik, seniman menghadapi tantangan besar terkait orisinalitas dan hak cipta. Survei Design and Artists Copyright Society (DACS) menunjukkan keresahan seniman terhadap potensi penurunan nilai karya dan pelanggaran hak cipta.
Studi oleh Lovato et al. menyoroti tuntutan transparansi pelatihan data dan penolakan terhadap keuntungan komersial dari output AI tanpa kontribusi manusia. Diskusi ini juga mengangkat laporan Kantor Hak Cipta AS yang menyatakan bahwa karya yang sepenuhnya dibuat AI tidak memenuhi syarat perlindungan hak cipta.
Visual Artist Rato Tangela menyampaikan bahwa AI dapat menjadi mitra kreatif yang memberi umpan balik objektif dan membantu memperbaiki konsep.
Sementara Eddy Sukmana, fotografer sekaligus AI creator, menekankan bahwa karya konvensional akan memiliki nilai lebih di tengah dominasi teknologi. Diskusi ini dipandu oleh Mahaputra Wikandhitya, Co-founder ECYCE, yang mengarahkan pembicaraan pada etika dan kolaborasi ideal antara seniman tradisional dan AI artist.
Sesi kedua menyoroti peran AI dalam pelestarian budaya. Azhar Muhammad Fuad dari Curawada Tech dan Gustav Anandhita dari AI Nusantara membahas bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mengarsipkan manuskrip kuno, menerjemahkan teks tradisional, dan menciptakan simulasi interaktif.
Namun, resistensi tetap kuat. Survei UNESCO menunjukkan kekhawatiran terhadap homogenisasi budaya dan hilangnya makna otentik. Gustav menekankan bahwa AI dapat menjadi medium yang menghidupkan kembali tokoh dan cerita masa lalu, asalkan digunakan dengan mempertimbangkan sensitivitas lokal dan nilai spiritual.
Sesi terakhir membahas peran AI dalam industri musik. Teknologi ini kini mampu menciptakan melodi, meniru suara musisi, hingga memproduksi lagu lengkap. Lembaga musik seperti SACEM dan GEMA mencatat bahwa mayoritas musisi khawatir kehilangan mata pencaharian akibat pergeseran pendapatan oleh AI.
Lebih dari 200 musisi dunia telah menandatangani surat terbuka menolak penggunaan AI yang mengancam orisinalitas dan identitas kreatif. Namun, survei Ditto Music menunjukkan bahwa sebagian besar musisi independen telah memanfaatkan AI untuk produksi, mixing, mastering, dan penulisan lirik.
Di Indonesia, platform seperti Trebel Music mulai mengintegrasikan fitur AI untuk eksplorasi lirik dan playlist otomatis. Pemerintah melalui Kominfo tengah menyusun peta jalan regulasi AI untuk mengantisipasi isu seperti deepfake musik.
Diskusi yang dipandu oleh Shindu Alpito dari Medcom menghadirkan Noor Kamil dan Tuan Tigabelas yang menekankan pentingnya critical thinking dalam proses kreatif. Menurut mereka, AI adalah asisten yang membantu, namun rasa dan pengalaman tetap harus berasal dari artis itu sendiri.
"Produksi musik dengan Al itu seru dan sangat membantu. Tapi tetap ada sisi positif dan negatifnya. Dari proses kreatif terutama untuk demo, rasa dan pengalaman tetap harus datang dari artisnya sendiri," tutur Noor Kamil.
Baca juga: IdeaFest 2025 Hadirkan Semangat Baru, Budaya, Kreativitas, dan Kolaborasi
Baca juga: Siap Digelar di Jakarta, Aidea Weeks 2025 Bahas Dampak AI Lintas Sektor
"Harus ada critical thinking dari kita. Mau membuat lirik dengan prompt seperti apa pun, pada akhirnya kembali pada critical thinking kita, karena Al itu hanya asisten," kata dia. []