Jakarta - Dalam konteks berkas tersangka penganiayaan anak korban D, telah dinyatakan P21 oleh kejaksaan.
Beredar beberapa informasi dan perdebatan di media sosial yang menyatakan bahwa penganiayaan yang dilakukan MDS terhadap D bukanlah penganiayaan berat, apabila kondisi D sudah membaik sampai bisa sekolah.
Terhadap hal ini Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) dalam rilisnya menyatakan, bahwa meskipun ketentuan pidana penganiayaan adalah delik materil, sehingga yang perlu diuji adalah akibat dari perbuatan tersangka terhadap korban.
"Namun dalam konteks penganiayaan berat, hal paling penting untuk dibuktikan adalah unsur niat dari pelaku apakah penganiayaan yang dilakukan memiliki maksud agar korban mengalami luka berat," demikian Erasmus AT Napitupulu selaku Koordinator Presidium Aliansi PKTA yang juga Direktur Eksekutif ICJR, Sabtu, 27 Mei 2023.
Disebutkannya, dari perbuatan pelaku MDS, penganiayaan yang dilakukan dengan cara menendang dan menginjak korban berkali-kali di bagian kepala harusnya dapat membuktikan adanya niat kesengajaan pelaku untuk mengakibatkan luka berat pada korban.
BACA JUGA: Rekaman CCTV soal AGH yang Gak Dipertimbangkan Hakim Kasus Penganiayaan MDS terhadap David
Kedua, luka berat dalam ketentuan Pasal 354 atau 355 KUHP harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 90 KUHP.
Di mana luka berat diukur dari kondisi yang diharapkan susah atau tidak bisa sembuh atau dapat mendatangkan maut.
Bahwa menurut keterangan dari keluarga dan tim dokter D, korban mengalami diffuse axonal injury atau DAI merupakan kondisi cedera otak karena trauma dan menjadi salah satu yang paling akut.
Tentu hal yang juga perlu diingat, kata Erasmus, D yang memiliki fisik sangat rentan ketika mengalami penganiayaan berat, terlebih pelakunya adalah orang dewasa, maka harus sangat hati-hati ketika melihat dampak dari suatu penganiayaan terhadap anak.
Ketiga, luka berat yang dialami D harus benar-benar dipertimbangkan secara menyeluruh. D sempat koma beberapa hari dan dirawat di ICU, serta lebih dari satu bulan dirawat di rumah sakit harus dipertimbangkan hakim.
Bahwa kondisi D yang membaik tidak dapat langsung disimpulkan sebagai alasan penganiayaan berat tidak terjadi.
Perlu untuk mempertimbangkan pelayanan kesehatan yang memang tersedia dengan baik di daerah D berada.
"Bayangkan bila penganiayaan terjadi di daerah yang susah akses fasilitas kesehatan, maka kondisi bisa jadi fatal bahkan berakibat kematian," kata dia.
Untuk itu ujar Erasmus, Aliansi PKTA meminta jaksa dan hakim untuk berhati-hati dalam memeriksa perkara D.
Aliansi PKTA percaya, setelah melihat fakta yang ada bahwa apa yang dilakukan oleh MDS terhadap D adalah sebuah perbuatan penganiayaan berat.
Setelah itu barulah kemudian jaksa dan hakim dapat memeriksa perencanaan yang dilakukan pelaku, dengan memanfaatkan AGH, sesuai Pasal 355 ayat (1) KUHP.
"Aliansi juga meminta agar jaksa dan hakim mempertimbangkan upaya-upaya pemulihan terhadap D," tukasnya. []