News Senin, 27 Januari 2025 | 19:01

AMAN Tano Batak Luncurkan Catatan Akhir Tahun 2024

Lihat Foto AMAN Tano Batak Luncurkan Catatan Akhir Tahun 2024 Narasumber acara refleksi perjalanan Masyarakat Adat Tano Batak sepanjang tahun 2024 di Pondok Kreatif, Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara pada Sabtu, 25 Januari 2025. (Foto: Ist)
Editor: Rio Anthony

Simalungun - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, bersama organisasi masyarakat sipil lainnya, menggelar acara refleksi perjalanan Masyarakat Adat Tano Batak sepanjang tahun 2024.

Acara ini berlangsung di Pondok Kreatif, Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara pada Sabtu, 25 Januari 2025.

Acara ini sekaligus menjadi momentum peluncuran Catatan Akhir Tahun (Catahu), yang mendokumentasikan tantangan, perjuangan, dan keberhasilan masyarakat adat selama satu tahun terakhir.

Acara dimeriahkan penampilan seni oleh komunitas adat, termasuk Sekolah Adat Sihaporas, Sanggar Nabasa, dan Mitudo, yang membawa pesan pelestarian budaya dan alam sebagai warisan tak ternilai.

Kegiatan diawali dengan diskusi refleksi yang menghadirkan para narasumber, yaitu Jhontoni Tarihoran (Ketua AMAN Tano Batak), Delima Silalahi (Direktur KSPPM) Tomson Hutasoit (Budayawan), Juni Aritonang (Direktur BAKUMSU), dan Sorbatua Siallagan (Perwakilan Komunitas Adat).

Diskusi itu dimoderatori Leni Rio Rita Sirait dengan mengangkat berbagai isu mendesak, seperti kriminalisasi masyarakat adat, ancaman proyek strategis nasional, hingga perjuangan mempertahankan identitas budaya di tengah tekanan ekonomi dan modernisasi.

Jhontoni menyoroti meningkatnya kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Ia mencontohkan penangkapan paksa di Sihaporas pada tahun 2024 yang dilakukan tanpa prosedur hukum, termasuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.

Ia juga mengingatkan kembali kasus Sorbatua Siallagan, yang sempat divonis bersalah namun akhirnya dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Medan.

"Masyarakat adat mempertahankan hak atas tanah adat, tetapi justru dikriminalisasi. Negara belum menunjukkan keberpihakannya kepada Masyarakat Adat," kata Jhontoni.

Delima menambahkan bahwa ancaman terhadap masyarakat adat kini tidak hanya datang dari PT Toba Pulp Lestari (TPL), tetapi juga dari proyek strategis nasional, seperti pariwisata internasional dan food estate.

“Proyek ini sering kali merampas tanah adat dan membawa dampak buruk terhadap komunitas adat,” ungkapnya.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya solidaritas yang semakin menguat di berbagai kalangan.

“Kekuatan masyarakat adat adalah semangat kolektif dan dukungan dari jaringan lembaga yang peduli terhadap keadilan,” katanya.

Juni dari BAKUMSU mengingatkan bahwa mandeknya pengesahan RUU Masyarakat Adat selama 14 tahun di DPR RI menjadi akar dari konflik-konflik agraria yang terus terjadi di Tano Batak.

“Ketika tanah adat dirampas, masyarakat adat dipaksa bersalah di hadapan hukum,” katanya.

Judianto Simanjuntak dari PPMAN menegaskan bahwa solidaritas terhadap masyarakat adat semakin meluas, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Ia mencontohkan dukungan dari 321 lembaga dan individu untuk pembebasan Sorbatua Siallagan, yang menjadi bukti kekuatan jaringan masyarakat sipil.

Tomson Hutasoit, seorang budayawan, menekankan pentingnya pendidikan adat melalui sekolah-sekolah adat di Tano Batak. Ia juga mengajak generasi muda untuk menjaga ritual adat sebagai bukti keberlanjutan budaya dan perjuangan.

Sorbatua, yang hadir sebagai perwakilan komunitas adat menyatakan, masyarakat adat bukanlah perampas tanah negara.

"Tanah yang kami pertahankan adalah warisan leluhur yang telah dikelola turun-temurun. Namun, negara seringkali berpihak kepada perusahaan dan kebijakan yang merugikan kami.” katanya.

Penyelenggara memberikan apresiasi berupa ulos kepada Sorbatua Siallagan sebagai simbol penghormatan atas dedikasi dan keberaniannya dalam memperjuangkan hak sebagai masyarakat adat.

Penyerahan ulos ini menjadi momen haru yang mencerminkan solidaritas dan penghargaan terhadap perjuangan komunitas adat.

Pertunjukan seni dari berbagai komunitas adat dan kelompok seni, termasuk Sekolah Adat Sihaporas, Lontung, dan Sigala-gala, Sanggar Nabasa dan penampilan seniman lokal, seperti Mitudo, Pondok Kreatif, Beni Tambak, dan Guido Hutagalung. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya