SIHAPORAS- Sejumlah biarawan/biarawati yang bertugas di wilayah Keuskupan Agung Medan mengunjungi masyarakat adat Sihaporas pada Selasa, 30 September 2025.
Para pastor, suster, bruder, dan frater bertemu untuk mendengar keluhan para korban penyerangan pekerja PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) yang terjadi Senin, 22 Agustus 2029.
Pertemuan dilakukan di rumah warga Dusun Sihaporas Aek Batu, Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara.
Pada pertemuan itu, warga mengatakan, secara umum, mereka dalam kondisi trauma, cemas campur takut pasca-penyerangan yang mengakibatkan 33 orang luka-luka dan 9 orang rawat inap di rumah sakit.
Sampai saat ini, pekerja TPL menduduki lahan perladangan warga. Dan jalan sebagai akses untuk berladang telah dirusak, digali lobang besar sepanjang bahu jalan 7 meter dan dalam sekitar 3 meter.
Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Mangitua Ambarita menyambut baik kehadiran para biarawan/biarawati datang atas nama Yayasan JPIC/KPKC (Justice, Peace and Integrity of Creation)/Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan) Ordo Kapusin Provinsi Medan.
"Terus terang, ibu-ibu di kampung kami ini telah menderita karena ditindas PT TPL. Ibu-ibu sangat susah, tidak bisa lagi berladang, karena terusir oleh pekerja PT TPL. Banyak ibu-ibu ini kesulitan menyekolahkan anak-anak yang sekolah atau kuliah, apabila tidak diperbolehkan kembali bertani," kata Mangitua.
Mangitua mengaku sebagai putra dari pejuang veteran Kemerdekaan Republik Indonesia. Jahya Ambarita, ayahnya, kelahiran Sihaporas tahun 1920, adalah Tentara Keamanan Rakyat, kemudian menjabat Pangulu/Kepala Desa Sihaporas tahun 1947-1951.
Jahya Ambarita mendapat tanda jasa kehormatan Legiun Veteran Kemerdekaan RI pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Surat keputusan LVRI Jahya Ambarita nomor: Skep/299/III/1990 nomor NPV: 2.043.074, golongan D, dengan masa bakti 1 tahun 9 bulan. Surat keputusan ini ditandatangani pada 30 Maret 1990 oleh Menteri Pertahanan LB Moerdani.
"Saya berharap, setelah kemerdekaan, tanah yang ikut diperjuangkan leluhur dan orangtua kami, termasuk ayah saya, pejuang kemerdekaan Indonesia, dikembalikanlah kepada kami," kata Mangitua sembari menyebut terdapat 6 orang putra-putri Sihaporas yang diakui Pemerintah Indonesia sebagai Veteran Kemerdekaan RI.
Mangitua berharap negara hadir ke tengah masyarakat. Negara melalui pemerintah Nagori Sihaporas, Pemerintah Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara bahkan hingga Presiden Prabowo Subianto kiranya sungguh memperhatikan masyarakat tertindas.
Pada pertemuan itu hadir Pastor Alexander Silaen selaku Minister Provinsial Kapusin Medan dan ex officio Ketua Dewan Pembina Yayasan KPKC Kapusin, Pastor Yosafat Ivo Sinaga selaku Wakil Minister Provinsial dan Sekretaris Dewan Pembina Yayasan KPKC Kapusin, Bruder Sumitro Sihombing Direktur KPKC dan Pastor Walden Sitanggang, anggota Dewan Pengurus Yayasan KPKC.
Pastor Alexander Silaen mengatakan, "Bagi saya tindakan sekarang bentuk genosida. Kalau mereka nggak diizinkan ke ladang untuk bekerja, sudah seminggu, bukankah sebenarnya ini bentuk genosida?"
Istilah genosida berasal dari dua kata, yaitu genos yang berasal dari bahasa Yunani dan cide yang berasal dari bahasa latin.
Genos berarti ras, suku, atau bangsa, dan cide berarti pembunuhan. Jadi, genosida adalah penghancuran yang disengaja dan sistematis terhadap sekelompok orang karena etnis, kebangsaan, agama, atau rasnya.
Menurut Pastor Alex, pikiran warga mulai terganggu karena kehilangan satu-satunya yang mereka punya dan perut lapar, makan dan sekolah anak terancam, esok hanya harapan yang hampir pasti mengecewakan (spes confundir).
Sementara TPL terus memperluas lahannya. Mereka tak bisa disalahkan jika akhirnya mereka menjual yang tersisa untuk beli beras modal bertahan hidup.
"`Semoga Tuhan membantu para pastor, Fr, Br dan Sr berjuang bagi kami agar kami bisa kembali ke ladang`. Semua yang `mandok hata` mengucapkan ini," ujar Pastor Alex, yang menjabat Ketua Komisi Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Medan 2020-2023.
Pertemuan warga Sihaporas dengan sejumlah biarawan/biarawati yang bertugas di wilayah Keuskupan Agung Medan mengunjungi masyarakat adat Sihaporas pada Selasa, 30 September 2025. (Foto: Ist)
Pastor Yosafat Ivo Sinaga OFMCap, yang menjabat Ketua Komisi Kerawam Keuskupan Agung Medan tahun 2020-2023, mengatakan, "Seharusnya mereka diizinkan oleh pemerintah untuk melanjutkan pertaniannya sampai tanaman yang mereka upayakan itu berhasil. Kalau tidak, mereka hidup dari mana? Anak-anak mereka butuh biaya untuk sekolah."
Saat berbicara di tengah puluhan masyarakat adat Sihaporas yang menyambut kedatangan mereka, Pastor Ivo berkata, "Sekarang, kami berada di desa Sihaporas, yang pada tanggal 22 September yang lalu, menjadi korban penyerangan oknum pekerja PT TPL. Serangan yang mengakibatkan 33 orang korban luka-luka, dan sembilan orang dirawat opname di RS Harapan Pematang Siantar."
Gerakan Solidaritas
Pastor Ivo, sapaan Pastor Yosafat Ivo Sinaga, mengatakan, kedatangan kali ini untuk melanjutkan gerakan solidaritas dan kepedulian sosial kepada para korban penganiayaan pekerja PT TPL, terutama kaum ibu dan perempuan.
"Kami telah menjenguk mereka di RS Harapan Siantar. Kami mendengar keluhan mereka. Bahwa perlakuan yang mereka terima sangat sadis, tidak berperikemanusiaan. Dan untuk melanjutkan gerakan solidaritas, kami kembali berkunjung ke sini. Kami juga mendengarkan kembali keluhan mereka, dan mereka sangat trauma dan takut," ujar Ivo sembari berharap luka batin warga segera dapat terobati sehingga terus berjuang.
Ivo berharap para pejabat, yang telah berkunjung ke Sihaporas pasca-kejadian, sebaiknya tidak selesai seketika. Pada Jumat, 26 September 2025, sejumlah pejabat negara seperti Wakil Bupati Simalungun, Kapolres Simalungun, Dandim Simalungun, dan Anggota DPR RI serta Anggota DPRD Kabupaten Simalungun, telah berkunjung ke Sihaporas pasca-kejadian.
Ia berseru kepada pemerintah, siapa pun yang sudah datang ke Sihaporas sungguh-sungguh mendengar, lalu menyuarakan jeritan dan tangisan masyarakat ini supaya benar-benar didengar pemerintah.
Masih menurut Pastor Ivo yang dalam khotbahnya kerap menyelipkan lelucon perumpamaan, para petani mengeluhkan, pertanian mereka telah dirusak pekerja PT TPL.
"Ladang mereka ruak. Cabe, jahe dan lain-lain. Mereka butuh segera boleh berladang, sebab mereka butuh ke ladang untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya," ujar Pastor Ivo, tampak mengenakan jubah coklat.
Senada dengan Ivo, Pastor Walden Sitanggang OFMCap yang juga Ketua Satgas Tolak TPL, ikut merasakan penderitaan warga Lamtoras Sihaporas. Menurutnya masyarakat perlu ladang untuk mencari nafkah.
Warga tidak hanya mengalami luka dan trauma karena kekerasan fisik, warga Lamtoras Sihaporas juga tidak bisa mengelola tanaman yang sudah diupayakan mereka untuk menjadi sumber nafkah mereka.
"Mereka tidak bisa ke ladang karena jalan diputus dan diportal oleh pihak PT TPL. Tanaman mereka juga sebagian sudah dirusak oleh pihak PT TPL," kata Pastor Walden.
Sambil menunggu aktivitas warga ke ladang normal kembali, para pastor, bruder dan frater berjubah coklat itu membawa sembako untuk dibagikan ke seluruh warga Lamtoras Sihaporas.
Korban Kriminalisasi
Mangitua sendiri menjabat vorhanger atau kepala gereja stasi Gereja Katolik Santo Yohanes Sihaporas, saat ditangkap dan terpenjara selama 1 tahun akibat kriminalisasi oleh PT TPL pada tahun 2004.
Mangitua sendiri pernah ditangkap polisi saat bertani pada 6 September 2004. Sepanjang perjuangan menuntut pengembalian tanah adat Sihaporas, pihak PT TPL telah empat kali melakukan kriminalisasi, yakni tahun 2003 terhadap Arisman Ambarita.
Lalu penangkapan Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita, pada 6 September 2004. Kemudian penangkapan Sekretaris Umum Lamtoras Thomson Ambarita, dan Bendahara Umum Lamtoras Jonny Ambarita, September 2019.
Selanjutnya penangkapan empat orang lagi, Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita (ditangkap kali kedua), kemudian Parando Tamba, dan Giovani Ambarita.
Mereka ditangkap dini hari. Jonny Ambarita adalah adik kandung Mangitua, saat ini masih terpenjara di LP Pematangsiantar. Giovani Ambarita, anak bungsunya, yang ditangkap polisi bersamaan dengan Jonny, telah lebih duluan bebas dari penahanan pada awal 2025.
Sebelumnya, Corporate Communication Head PT TPL Salomo Sihotang membantah karyawan perusahaannya disebut menyerang warga Desa Sihaporas. Menurutnya, warga justru menghadang dan memblokade jalan dengan kayu gelondongan dan membakar dua unit mobil operasional.
Menurut Salomo, banyak di antara karyawan TPL yang terluka akibat lemparan batu.
"Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 08.30 WIB, ketika pekerja sedang dalam perjalanan menuju lokasi pemanenan dan penanaman pohon," ujar Salomo dikutip dari Tempo.
Akibat serangan itu, kata Salomo, enam orang pekerja TPL mengalami luka-luka yaitu Rocky Tarihoran selaku karyawan Humas, tiga orang petugas keamanan bernama Saut Ronal, Edy Rahman, dan Markus, serta seorang anggota mitra bernama Nurmaini Situmeang.
Sejarah Sihaporas
Lokasi sengketa merupakan tanah adat Sihaporas yang dulu Si Pukka Huta atau pendiri kampung adalah Ompu Mamontang Laut Ambarita. Ia menempati Sihaporas sejak awal tahun 1800.
Sekitar 1913, Belanda meminjam paksa atau menjajah tanah Sihaporas untuk mereka tanami pinus atau tusam.
Sebagai pengakuan atas tanah adat Sihaporas, tahun 1916 atau 29 tahun sebelum Indonesia merdeka, penjajah menerbitkan peta enclave Sihaporas. Terdapat tiga nama kampung dalam hamparan lahan di peta tersebut, Sihaporas Negeri Dolok, Sihaporas dan Sihaporas Bolon.
Sejumlah biarawan/biarawati yang bertugas di wilayah Keuskupan Agung Medan mengunjungi masyarakat adat Sihaporas pada Selasa, 30 September 2025. (Foto: Ist)
Pasca-Belanda angkat kaki, pemerintah Indonesia justru memberikan tanah adat Sihaporas ke dalam garapan konsesi PT Inti Indorayon Utama (sekarang TPL), tahun 1990. Masyarakat pun menuntut pengakuan dan pengembalian tanah adat Sihaporas kepada Pemkab Simalungun, tahun 1998.
Kemudian, DPRD Kabupaten Simalungun membentuk tim peneliti dan beberapa kali berkunjung ke Sihaporas, Mei-Agustus 2000. Dari situ, mereka keluarkan rekomendasi dan temuan.
Intinya, benar ada tanda-tanda perkampungan tua berumur ratusan tahun di Sihaporas, berupa bekas kampung yang dikelilingi parit, bukti kuburan-kuburan nenek moyang warga dan makam.
Juga, bekas onan atau pasar, tempat perdagangan di masa lalu, bombongan bolon atau kolam besar komunal, Batang-batang tanaman seperti pohon besar dan rumpun pohon bambu yang berusia ratusan tahun.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pun menerbitkan peta Huta Sihaporas seluas 2.053 hektar. Luas wilayah tanah Sihaporas yang masuk dalam konsesi PT TPL adalah sekitar 1.345 hektare dari total wilayah adat Sihaporas.
“Kami sudah ada sebelum negara ini terbentuk,” terang Mangitua.
Lalu mengapa Sihaporas disebut tanah adat? Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) mewarisi tujuh adat ritual dari Ompu Mamontang Laut Ambarita, sipukka huta yang kemudian menjadi Tuan Sihaporas.
Mereka umumnya mengikuti agama Samawi, seperti Katolik dan Kristen Protestan, namun tetap menjalankan tradisi warisan leluhur secara turun-temurun 11 generasi hingga sekarang.
Ritual merupakan tradisi doa, menyembah Debata Mulajadi Nabolon atau Tuhan Sang Pencipta. Dalam bahasa Batak, doa disebut, "Mangido hasangapon, hagabeon, hamoraon, torop ni hajolmaon, gabe na sinuan, sinur nang pinahan, horas dihajolmaon." Memohon berkat, keberhasilan, harkat, martabat dan harta, juga keturunan.
Menurut kepercayaan masyarakat Sihaporas, Ompu Mamontang Laut Ambarita telah menempati Kampung Sihaporas sejak tahun 1800.
Ada tujuh ritual Batak yang harus dilaksanakan secara turun-temurun, diperoleh sejak Ompu Mamontang Laut berada di Ambarita, Pulau Samosir, yang dia dapatkan sebagai ilham dan pesan leluhurnya.
Ritual tersebut adalah:
- Patarias Debata Mulajadi Nabolon
Adalah pesta adat untuk memuji, memuliakan, dan menyampaikan persembahan kepada Sang Pencipta dengan diiringi musik tradisional gondang (musik tradisi batak) selama tiga malam dua hari. Ritual ini digelar setiap empat tahun sekali.
- Raga-raga Na Bolak Parsilaonan
Adalah ritual doa permohonan dan persembahan kepada leluhur, Ompu Mamontang Laut Ambarita, dengan diiringi musik tradisional gondang selama sehari semalam. Ritual ini juga digelar setiap empat tahun sekali, selang-seling dengan Patarias Debata.
- Mombang Boru Sipitu Suddut
Ini adalah ritual dia permohonan dan persembahan kepada Raja Uti dan Raja Sisingamangaraja. Ritual ini digelar selama satu hari tanpa diiringi gondang. Pelaksanaannya di gerbang kampung, dan dilaksanakan hanya sehari dan tanpa gondang.
- Manganjab
Ritual doa ini dilakukan untuk memohon kesuburan dan keberhasilan dalam usaha bertani, sekaligus memohon agar dijauhkan dari segala macam hama dan penyakit pada tanaman. Ritual ini diselenggarakan di ladang (perhumaan) sekali setiap tahun. Acara hanya sehari dan tanpa gondang.
- Ulaon Habonaran i Partukkoan
Ritual doa melalui leluhur atau Habonaran Ni Huta (kuncen kampung), dan Raja Sisingamangaraja ini digelar dengan tujuan untuk menjauhkan kampung dari segala macam marabahaya dan penyakit. Acara hanya beberapa jam.
- Pangulu Balang Parorot
Ritual ini dilakukan untuk berdoa kepada Sang Ada melalui penjaga kampung dan hadatuon supaya penduduk kampung diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala bala. Acara hanya beberapa jam.
- Manjuluk
Rital doa yang diselenggarakan sesaat sebelum mulai menanam ini dilakukan di gubuk atau ladang secara rutin.
Sebelum bercocok tanam, ada juga ritual, manoto, yaitu kegiatan pertama membuka lahan (land-clearing). Lazimnya, orang tua membuka lahan, dengan membabat hutan kira-kira 5 meter persegi. Kemudian, akan diberi tanda, mengambil sebatang pohon.
Bagian pangkal dibelah empat bagian, diberi belahan kayu untuk semacam penunjuk 4 arah mata angin yaitu habinsaran (mata hari terbit, timur), hasundutan (matahari terbenam, barat) serta siamin (kanan) dan hambirang (kiri). Kayu dililiti akar atau rotan. Kemudian berdoa, meminta petunjuk Debata Mulajadi Nabolon, untuk diberi izin bertani di lahan.
Pembuka lahan kemudian pulang, menunggu semalam. Apabila dalam mimpi, ada alamat atau firasat tidak nyaman, tidak selamat, seperti mimpi buruk, maka perladangan tidak dilanjutkan. Setelah panen, ada lagi pesta adat disebut Marsipaha lima, sejenis syukuran diwarnai makan bersama.
Sampai saat ini, generasi ke-11 dari Ompu Mamontang Laut Ambarita di Desa Sihaporas masih tetap menjaga dan melaksanakan ritual adat tersebut. Bagi warga Desa Sihaporas, ritual-ritual ini adalah cara untuk menghormati Sang Pencipta dan leluhur. []