Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI, Sari Yuliati mengusulkan pasal penghinaan pemerintah yang terdapat pada Pasal 240 dan 241 Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) harus diatur bukan sebagai delik biasa.
Sari mengungkapkan, seharusnya pasal itu disamakan dengan Pasal 218, 219, 347, dan 348 sebagai delik aduan dengan melakukan penambahan pasal.
Dia juga mengusulkan agar dibuatkan aturan yang berhak melakukan pengaduan adalah Presiden atau Wakil Presiden atau Pimpinan Lembaga Pemerintah atau Pimpinan Lembaga Negara.
Hal ini disampaikannya saat Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej beserta jajaran Kemenkumham membahas penyempurnaan RUU KUHP yang digelar di Ruang Rapat Komisi III, Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis, 24 November 2022.
"Jadi dari pasal tentang penyerangan martabat atau pasal tentang penghinaan dari Presiden atau Wakil Presiden yaitu Pasal 218 dan 219, penghinaan pemerintah Pasal 240 dan 241 penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara yaitu Pasal 347 dan 348, tanggapan kami tentang draft 9 November 2022 terkait penghinaan terhadap pemerintah Pasal 240 dan 241 merupakan delik biasa seharusnya disamakan dengan pasal 218, 219, 347 dan 348 sebagai delik aduan yang diproses apabila ada pengaduan dari Presiden atau Wakil Presiden atau Pimpinan Lembaga Negara," kata Sari seperti dikutip Jumat, 25 November 2022.
Lebih lanjut, berkaitan frasa `kekuasaan umum` dinilai bermakna sangat luas. Terkait hal itu, Ia mengusulkan agar frasa `kekuasaan umum` dihapus sehingga norma yang diatur hanya terkait `penghinaan lembaga negara`.
Kemudian, `lembaga negara` yang dimaksud perlu dibatasi hanya lembaga tinggi negara sebagaimana diatur UUD 1945 yakni Kepresidenan, MPR RI, DPR RI, DPD RI, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Selain itu, Politisi Fraksi Partai Golkar ini juga menyampaikan usulan agar pasal tentang hukum adat atau living law sebaiknya dikeluarkan dari RUU KUHP.
Karena, kata dia, mengingat perbedaan adat istiadat dan tidak unifikasi dari hukum pidana yang berlaku di seluruh Indonesia.
Ia menyebut, kalaupun tetap dimasukkan perlu adanya penegasan pada penjelasan Pasal 2 ayat 1 terkait dengan keberlakuan norma hukum pidana adat yakni ketentuan hukum pidana adat dapat diberlakukan apabila telah ditegaskan dan dikompilasi dalam bentuk peraturan daerah.
Disisi lain, Sari menyoroti pidana denda pada pasal 81, 82,83 dan 84. Dia mengusulkan, apabila terdapat hambatan untuk membayar pidana denda baik secara langsung maupun mengangsur dan tidak ada harta yang tidak bisa dirampas untuk membayar denda maka denda tersebut bisa diganti dengan menjadi pidana kerja sosial atau pidana penjara pengganti.
Baca juga: rkuhp-tak-ancam-kerja-kerja-jurnalistik-ini-kata-dewan-pers">Benny Klaim RKUHP Tak Ancam Kerja-kerja Jurnalistik, Ini Kata Dewan Pers
Baca juga: Tegaskan RKUHP Harus Segera Disahkan, DPR: Juga Ruang untuk Menerima Masukan Publik
"Jadi menghapus Pasal 81 ayat 3 dan mengubah Pasal 82 ayat 1. Sehingga tidak perlu kekayaan atau pendapatan disita dan dilelang langsung diganti ke pidana kerja sosial atau pidana penjara pengganti," ucap Sari.