Jakarta — Pemerintah didorong untuk segera meninjau ulang standar garis kemiskinan nasional yang selama ini digunakan dalam pengambilan kebijakan.
Dorongan tersebut datang dari Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS, Anis Byarwati, yang menilai bahwa angka Rp595.242 per orang per bulan sebagai batas kemiskinan nasional sudah tidak lagi mencerminkan realitas ekonomi masyarakat.
Usulan ini muncul setelah Dewan Energi Nasional (DEN) mengusulkan agar garis kemiskinan diperbarui.
Anis menyambut baik langkah tersebut, dan menyebut revisi ini sebagai peluang penting bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan pembaruan mendasar dalam kebijakan sosial.
"Standar garis kemiskinan yang terlalu rendah justru bisa menyesatkan arah kebijakan. Ini bukan hanya soal angka, tapi menyangkut validitas intervensi sosial negara," ujar Anis di Jakarta, Senin, 16 Juni 2025.
Anis menyoroti standar internasional yang telah digunakan Bank Dunia dalam mengklasifikasikan tingkat kemiskinan. Ada tiga level yang digunakan:
-
US$3 PPP per hari (Rp546.000/bulan) untuk kemiskinan ekstrem,
-
US$4,2 PPP per hari (Rp765.000/bulan) untuk negara berpenghasilan menengah bawah, dan
-
US$8,3 PPP per hari (Rp1,5 juta/bulan) untuk negara menengah atas.
Dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia yang mencapai Rp78,6 juta per tahun atau sekitar US$4.960, Anis menilai sudah waktunya pemerintah tidak lagi memakai garis kemiskinan nasional yang jauh di bawah standar internasional.
"Kalau Indonesia mengaku sebagai negara berpenghasilan menengah atas, maka seharusnya juga mengadopsi standar garis kemiskinan sesuai dengan kelasnya," tegas legislator dari Daerah Pemilihan DKI Jakarta I ini.
Ia menambahkan, jika garis kemiskinan nasional diperbarui mengikuti standar Bank Dunia untuk negara menengah-bawah (Rp765 ribu/bulan), maka angka kemiskinan di Indonesia bisa melonjak menjadi sekitar 20 persen dari total populasi, dibandingkan 8 persen versi Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini.
"Revisi ini bukan untuk menciptakan kesan lebih buruk, tapi agar data kita lebih jujur dan respons kebijakan menjadi lebih tepat sasaran," tutup Anis.[]