News Senin, 28 Maret 2022 | 13:03

Anis Byarwati: Fraksi PKS Tidak Sepakat dengan Rencana Kenaikan Tarif PPN 11 Persen

Lihat Foto Anis Byarwati: Fraksi PKS Tidak Sepakat dengan Rencana Kenaikan Tarif PPN 11 Persen Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati. (Dok. Anis Byarwati)

Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati merespons Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengamanatkan bahwa mulai 1 April 2022, tarif PPN akan meningkat menjadi 11 persen.

Anis menegaskan, pada saat pembahasan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang pada akhirnya ditetapkan sebagai UU HPP, PKS menjadi satu-satunya fraksi yang menolak disahkannya UU ini.  

Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini mengungkapkan, salah satu poin penolakan F-PKS adalah terkait kenaikan PPN.

"Fraksi PKS tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen yang akan diberlakukan mulai 1 April 2022, dan 12 persen berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025. PKS juga mendorong agar tarif Pajak Pertambahan Nilai setinggi-tingginya tetap 10 persen," kata Anis meneruskan catatannya, Senin, 28 Maret 2022.

Wakil Ketua Badan Akuntabilitas dan Keuangan Negara (BAKN) DPR RI itu berpandangan bahwa kenaikan PPN akan kontra produktif dengan rencana pemulihan ekonomi nasional.

Pasalnya, sumber PPN terbesar berasal PPN dalam negeri, berupa konsumsi masyarakat, dan PPN impor, yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri.

"Artinya, kenaikan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi perekonomian nasional," ujarnya.

Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa PPN merupakan jenis pajak objektif, yang artinya tidak memandang status wajib pajak melainkan hanya melihat objek ataupun barang yang berkaitan dengan transaksi antara penjual dan pembeli.

Jenis pajak ini, lanjutnya, merupakan jenis pajak yang paling sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari karena menyangkut konsumsi barang dan jasa.

"Karena pembebanannya ditanggung oleh pengguna akhir dalam hal ini konsumen, tentu ini akan memberikan tekanan pada kemampuan daya beli masyarakat," tuturnya.

Anis menilai, kondisi masyarakat saat ini masih sangat rentan, apalagi dengan adanya kenaikan kebutuhan pokok, sampai kasus mahalnya minyak goreng yang menjadi momok bagi ibu-ibu.

Kondisi perekonomian terutama konsumsi rumah tangga belum pulih ke kondisi normal seperti sebelum adanya pandemi. Apalagi menjelang Ramadhan dan Idul Fitri yang sudah menjadi siklus tahunan terjadinya lonjakan kenaikan harga.

"Ini harus menjadi catatan dan peringatan bagi pemerintah. Satu sisi dengan kenaikan tarif PPN ini mungkin akan bisa menambal defisit yang ada, tapi perlu saya tegaskan bahwa kenaikan tarif PPN jangan sampai kembali melukai dan menambah beban bagi masyarakat yang masih tertatih dan belum pulih dari kondisi terpuruknya ekonomi akibat pandemi," ucap Anis.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya