Jakarta – Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan, Anis Byarwati, mengkritisi rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang akan diberlakukan awal 2025.
Ia menilai kebijakan ini perlu dipertimbangkan ulang mengingat kondisi ekonomi Indonesia saat ini tidak mendukung.
“Saat UU HPP dibentuk pada 2021, asumsi yang digunakan adalah ekonomi akan pulih di 2025. Namun, data menunjukkan kondisi ekonomi kita justru sedang kurang baik,” ujar Anis di Kompleks Parlemen DPR RI, Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Anis mengungkapkan tren deflasi sejak Mei 2024 sebagai tanda melemahnya daya beli masyarakat. Berdasarkan data BPS, deflasi berturut-turut terjadi sebesar 0,03 persen pada Mei, 0,08 persen pada Juni, hingga 0,12 persen pada September 2024.
“Deflasi ini menunjukkan konsumsi rumah tangga yang melambat, padahal konsumsi masyarakat adalah motor utama perekonomian kita,” tegasnya.
Ia juga menyoroti perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III 2024 yang hanya mencapai 4,95 persen (yoy), lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya. Konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91 persen (yoy), lebih rendah dari 4,93 persen pada kuartal sebelumnya.
Anis menambahkan, penurunan jumlah kelas menengah semakin memperburuk kondisi ekonomi. “Pada 2024, kelas menengah kita tercatat hanya 47,85 juta jiwa, turun drastis dari 57,33 juta jiwa pada 2019,” ungkapnya.
Selain itu, data Kemenaker menunjukkan 64.288 tenaga kerja terkena PHK hingga November 2024, mayoritas dari sektor manufaktur, termasuk tekstil. “Industri banyak yang belum pulih pascapandemi, sehingga kenaikan PPN hanya akan memperberat beban mereka,” ujarnya.
Anis juga mengutip kajian INDEF yang memperkirakan kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berdampak negatif pada perekonomian. “Dampaknya mulai dari melambatnya pertumbuhan ekonomi, inflasi yang meningkat, hingga penurunan konsumsi rumah tangga dan ekspor-impor,” jelasnya.
Anggota Komisi XI DPR RI ini menegaskan bahwa UU HPP memberikan ruang untuk menyesuaikan tarif PPN. “Dalam pasal 7 ayat 3 dan 4 UU HPP disebutkan bahwa tarif PPN dapat disesuaikan antara 5 persen hingga 15 persen, tergantung situasi ekonomi. Ruang ini perlu digunakan dengan bijak,” papar Anis.
Ia mengingatkan bahwa kebijakan fiskal harus mendukung pemulihan ekonomi, bukan malah membebaninya. “Kita membutuhkan stimulus untuk konsumsi, bukan kebijakan yang justru memperberat beban masyarakat. Pemerintah harus bijak melihat situasi saat ini,” pungkasnya.[]