Jakarta - Komisi XI DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dirjen Pajak pada Senin, 24 Januari 2022 kemarin. RDP kali ini terkait evaluasi dan capaian kinerja tahun 2021 dan rencana kerja tahun 2022 Dirjen Pajak.
Dalam rapat itu, Dirjen Pajak menyampaikan capaiannya yaitu tentang penerimaan pajak tahun 2021 yang mencapai 103,9 persen target APBN atau tumbuh 19,2 persen.
Menanggapi itu, anggota Komisi XI DPR RI dari fraksi PKS, Anis Byarwati mengapresiasi capaian kerja Dirjen Pajak.
"Sudah semestinya kita memberikan apresiasi atas capaian penerimaan pajak pada tahun 2021, yang tumbuh 19,2 persen," kata Anis dalam keterangannya, Selasa, 25 Januari 2022.
Namun demikian, Wakil ketua Badan Akuntabilitas dan Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini mengingatkan beberapa hal yang harus terus diwaspadai.
Pertama, terkait masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dikarenakan kondisi mereka yang berada dalam kemiskinan.
Berdasarkan data yang dihimpunnya, Anis menyampaikan bahwa kondisi masyarakat yang extreme poor, moderate poor, dan vulnerable yang sewaktu-waktu bisa turun menjadi poor jika ditotal jumlahnya mencapai 70 persen.
"Artinya hanya 30 persen masyarakat yang bisa dituntut membayar pajak. Melihat dari sisi makro, kita memiliki tugas besar untuk mensejahterakan masyarakat sehingga mereka tidak lagi dalam kondisi extreme poor atau moderate poor atau vulnerable, sehingga mereka berpotensi untuk menjadi wajib pajak," ujarnya.
"Jika kesejahteraan masyarakat meningkat, akan berdampak sangat signifikan pada penerimaan pajak," sambungnya.
Kedua, Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini mengingatkan agar pemerintah tidak terlalu euforia dengan realisasi penerimaan yang melebihi target di tahun 2021, karena masih banyak hal yang harus dicermati.
Salah satunya, lanjut dia, pemerintah harus waspada karena kenaikan harga komoditas tidak dipungkiri menjadi salah satu hal yang sedang menguntungkan posisi Indonesia saat ini.
Menurutnya, masih banyak yang harus dilihat dan dipertimbangkan, bukan hanya kepada pencapaian target karena memang ada beberapa kondisi yang saling terkait.
Apalagi, sambungnya, saat ini pemerintah juga menghadapi tekanan pembiayaan utang di mana beban bunganya masih menjadi ancaman fiskal.
Ketiga, Anis menekankan bahwa tahun 2022 ini diharapkan menjadi tahun awal kebangkitan ekonomi dan kondisi pandemic Covid-19 dapat segera berakhir.
Dalam situasi yang belum menentu, pemerintah sempat memberikan statement bahwa ada potensi peningkatan keterpaparan virus Covid-19 di bulan Maret atau April 2022.
"Hal ini menjadi peringatan untuk kita semua agar bisa mengantisipasi jika hal itu terjadi," tuturnya.
Lebih lanjut, Anis juga menyoroti Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang menjadi amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Ia berharap Dirjen Pajak bisa menggarap dan memiliki target PPS yang lebih jelas di tahun 2022 sehingga penerimaan pajak semakin baik.
Walau demikian, dia tetap mengingatkan bahwa program pengampunan dengan nama dan dalam bentuk apapun, baik dilakukan secara sukarela ataupun tidak, jelas mencederai prinsip keadilan.
"Jangan sampai muncul pemikiran dari wajib pajak apabila ada pengampunan jilid satu, jilid dua, dan akan ada lagi jilid selanjutnya dimasa mendatang," katanya.
Dia mengatakan, dalam hal ini pemerintah harus bekerja keras mencapai target penerimaan di tengah tekanan pembiayaan utang.
Ia juga mengingatkan persoalan yang harus diwaspadai, yakni volatilitas nilai tukar dan kenaikan suku bunga di tahun 2022 yang akan membuat porsi pembayaran bunga utang terhadap penerimaan pajak semakin melebar.
Terakhir, politisi senior PKS ini mengingatkan kepada pemerintah terutama Dirjen Pajak untuk tetap konsisten dan tidak membebankan PPN terhadap barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan dan dikonsumsi oleh rakyat banyak, juga atas jasa kesehatan medis, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan jasa lainnya.
Ia mengingatkan agar pemerintah konsisten dengan hal ini, karena berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, barang dan jasa tersebut menjadi barang dan jasa kena pajak, namun tidak dipungut/dibebaskan dari pengenaan pajak sebagian atau seluruhnya yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
"Hal ini tentu dapat membuka ruang bagi Pemerintah untuk melakukan pengenaan tarif atas barang dan jasa tersebut," ucap Anis Byarwati.[]