News Rabu, 27 Juli 2022 | 09:07

Autopsi Ulang Jenazah Brigpol Yosua, Tantangan Menjaga Marwah Polri

Lihat Foto Autopsi Ulang Jenazah Brigpol Yosua, Tantangan Menjaga Marwah Polri Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. (Foto: Humas Polri)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Hari ini, Rabu, 27 Juli 2022 dilakukan autopsi ulang terhadap jenazah Brigadir Polisi Nopryansah Yosua Hutabarat di Jambi.

Ini merupakan usulan keluarga Brigpol Yosua yang diamini Kapolri untuk dilakukan. Kapolri sendiri sudah membentuk tim khusus menangani kasus ini. 

Rangkaian autopsi ulang dan penanganan kasus ini oleh tim khusus internal Polri, menurut Indonesia Police Watch (IPW) merupakan tantangan menjaga marwah institusi dan menyelamatkan Polri dari hujatan masyarakat. 

"Setiap anggota tim harus mempertanggungjawabkan sumpahnya selaku Bhayangkara negara untuk benar-benar konsisten menegakkan hukum sesuai fakta sebenarnya," kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam keterangan tertulisnya diterima Opsi.id, Rabu, 27 Juli 2022.  

Menurut Sugeng, kasus tewasnya Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat yang ditembak oleh rekannya sesama ajudan, Bharada Richard Eliezer menjadi perhatian masyarakat luas, karena terjadi di rumah petinggi Polri. 

Apalagi dengan munculnya banyak kejanggalan yang diungkap oleh Polri. Mulai dari ditutup rapatnya kasus selama tiga hari sejak Jumat, 8 Juli 2022 ke hari Senin, 11 Juli 2022, hingga hilangnya ponsel Yosua dan rusaknya CCTV di lokasi.

Kejanggalan-kejanggalan itu bahkan menjadi pertanyaan para tokoh masyarakat, anggota DPR, LSM hingga Presiden Joko Widodo. 

Presiden Jokowi bahkan sampai tiga kali mengingatkan Kapolri bahwa kasus itu jangan ditutup-tutupi, diproses hukum, dan terbuka. 

Pesan terakhir disampaikan Presiden Jokowi saat di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Kamis, 21 Juli 2022.

"Saya kan sudah sampaikan, usut tuntas, buka apa adanya, jangan ditutup-tutupi, transparan," kata Presiden Jokowi, sambil menasehati bahwa kepercayaan publik terhadap Polri harus dijaga. 

Para Senior

Sugeng mengatakan, menjaga marwah institusi Polri dan menjaga kepercayaan publik terhadap Polri harus dilakukan para senior anggota Polri. 

Terutama yang masuk di jajaran Tim Khusus Internal yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Diantaranya menunjuk Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono sebagai Penanggung Jawab Tim Khusus Internal. Komjen Gatot Eddy merupakan lulusan Akpol 1988. 

Ketua Tim Khusus ditunjuk anggota yang lebih senior lagi, yakni Irwasum Komjen Agung Budi Maryoto yang merupakan lulusan Akpol 1987 dan yang sebentar lagi pensiun. 

Anggota lainnya, yaitu Kabareskrim Komjen Agus Andrianto (Akpol 1990), Kabaintelkam Komjen Ahmad Dofiri (Akpol 1989 dan peraih Adhi Makayasa), serta Asisten SDM Polri Irjen Wahyu Widada (Akpol 1991 dan peraih Adhi Makayasa). 

"Oleh karena itu, dengan kekuatan Tim Khusus Internal kasus polisi tembak polisi yang diisi oleh para senior dan anggota Polri terbaik peraih Adhi Makayasa, seharusnya tidak ada keraguan untuk menyelamatkan institusi dari tangan-tangan kotor yang mencoreng Polri," tegas Sugeng.

"Sehingga siapapun yang terlibat menyimpang dari penanganan kasus polisi tembak polisi tersebut, harus ditindak dan diperiksa tanpa keraguan," ujarnya kemudian. 

Jika kemudian ditemukan pelanggaran disiplin dan kode etik, maka harus diselesaikan melalui sidang disiplin dan sidang etik. 

Baca juga:

Keluarga Brigadir J Doa Bersama Sebelum Pengangkatan Peti Jenazah

Sedang kalau ada dugaan pidananya maka Tim Khusus Internal meneruskannya melalui Bareskrim Polri. 

Dengan begitu, maka kepercayaan publik akan terbangun kembali dari merosotnya citra Polri yang disebabkan oleh aksi polisi tembak polisi di rumah pejabat utama Polri itu. 

Kejanggalan demi Kejanggalan

Diketahui, sejak awal kasus ini dikonstruksikan oleh Mabes Polri bahwa dari aksi polisi tembak polisi itu tidak ada yang dapat dihukum. 

Karena, pelaku yang menembak yaitu Bharada Richard Eliezer melakukan pembelaan diri karena Putri, istri Kadiv Propam saat itu Irjen Ferdy Sambo, diancam dan dilecehkan oleh Brigpol Yosua. 

Sehingga terjadinya tembak menembak yang menyebabkan kematian Yosua sebagai pembelaan diri. 

Pembelaan diri ini secara gamblang dijelaskan oleh Kapolres Metro Jakarta Selatan dan disampaikan lagi oleh Karopenmas Div Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan saat konferensi pers pertamanya, Senin, 11 Juli 2022. 

Hal tersebut diperjelas karena adanya dua laporan polisi tentang pencabulan serta pengancaman dan percobaan pembunuhan yang dijerat dengan Pasal 335 KUHP, 289  KUHP. 

Namun, masyarakat dan juga IPW menilai banyak kejanggalan dengan kasus polisi tembak polisi tersebut. 

Kejanggalan itu antara lain, pada saat olah tempat kejadian perkara (TKP), tidak adanya police line di rumah Irjen Ferdy Sambo. 

Padahal fungsi police line ini, untuk melarang siapapun masuk ke TKP kecuali penyidik dan petugas polisi lain yang ditunjuk agar keaslian TKP tetap terjaga guna kelancaran penyidikan selanjutnya. 

Dipasangnya police line ini telah diatur pada Surat Keputusan Kapolri No.Pol: Skep/1205/IX/2000 tanggal 11 September 2000 tentang Bujuklak, Bujuknis dan Bujuk Administrasi tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana. 

Baca juga:

Jenazah Brigadir J Sudah Tiba di RSUD Sungai Bahar Jambi, Proses Autopsi Dimulai

Dijelaskan dalam skep tersebut bahwa police line merupakan bagian alat yang harus ada. 

Nyatanya, perlakuan memberikan police line itu sangat berbeda ketika Tim Khusus Internal dibentuk dan langsung melakukan olah TKP. 

Pelaksanaan yang dipimpin oleh Kabareskrim Komjen Agus Andrianto yang masuk ke rumah Irjen Ferdy Sambo sebagai TKP pada Selasa, 12 Juli 2022 malam. 

Saat itu, anggota Polri melaksanakan police line terlebih dulu. Demikian juga saat beberapa kali Tim Khusus melakukan pendalaman di TKP. Bahkan, hingga kini police line tetap terpasang di rumah Irjen Ferdy Sambo. 

Kejanggalan kedua, tentang tidak adanya pemotretan dan sketsa. Pemotretan dilakukan agar dapat mengabadikan situasi atau keadaan TKP termasuk korban dan barang bukti lain pada saat ditemukan. 

Di samping, bertujuan memberikan gambaran nyata situasi kondisi TKP. Pemotretan sangat erat dengan identifikasi dan kedokteran forensik.  

Sementara dalam pembuatan sketsa digunakan untuk menggambarkan situasi atau keadaan TKP seteliti mungkin guna kepentingan rekonstruksi di kemudian hari. 

Termasuk menampilkan barang-barang bukti yang ditemukan. Tanpa adanya Berita Acara Pemotretan dan Sketsa maka rekonstruksi yang akan dilakukan menjadi bias.

Baik pemotretan maupun sketsa ini, tidak ditampilkan oleh pihak Polri saat mengumumkan kejadian perkara atas tewasnya Brigpol Yosua, termasuk jenis senjata, nomor register senjata, dan kaliber peluru yang telah ditemukan. Sehingga, masyarakat menilai ada banyak kejanggalan dalam kasus tersebut. 

Kejanggalan ketiga, karena penanganan pertama kasus tewasnya Brigpol Yosua tersebut sudah terjadi kejanggalan-kejanggalan, hingga jenazah tidak boleh dibuka dan akhirnya ditemukan ada sayatan maka keluarga dan kuasa hukumnya meminta dilakukan autopsi ulang. 

Kapolri menyepakati diadakannya autopsi ulang pada Rabu, 27 Juli 2022, dengan melibatkan ahli-ahli yang netral dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI). 

Dengan adanya autopsi ulang pada Rabu, 27 Juli 2022 dengan melibatkan Forensik Dokkes, ahli forensik independen dari PDFI serta dokter forensik dari TNI yang dijamin kenetralannya oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, diharapkan kasus tersebut mendapatkan kebenaran materil. 

Karena dilakukan melalui scientific crime investigation sehingga kasusnya terkuak dan menemukan tersangkanya. 

Pada sisi lain, IPW kata Sugeng, menyoroti penanganan kasus pelecehan seksual dan pengancaman, yakni Pasal 289 KUHP dan 335 KUHP oleh Polda Metro Jaya, dapat menimbulkan potensi kesimpulan yang berbeda bila tidak ditarik penanganannya oleh Bareskrim Polri yang juga sedang menangani kasus laporan pembunuhan berencana, pembunuhan, dan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang. 

Pasalnya kasus ini adalah peristiwa pidana yang sama, yaitu memeriksa matinya Brigpol Yosua. 

Dia mengatakan, dengan penanganan yang terbuka, akuntabel, transparan serta tidak diarahkan melindungi dan menutup kesalahan pihak-pihak tertentu, akan memenuhi rasa keadilan masyarakat dan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada Polri. 

"Akan tetapi bila sebaliknya, maka dugaan publik yakni hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, seperti juga disinyalir Kapolri Jenderal Sigit Listyo Prabowo saat fit and proper test pada Januari 2021 di depan DPR RI benar adanya," tukasnya.  []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya