News Minggu, 24 April 2022 | 09:04

Bahaya Kontraproduktif Wacana Pidana Mati dalam Kasus Minyak Goreng

Lihat Foto Bahaya Kontraproduktif Wacana Pidana Mati dalam Kasus Minyak Goreng Minyak goreng. (Foto: Antara)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Kejaksaan Agung kembali mewacanakan pidana mati untuk kasus tindak pidana korupsi (tipikor). Wacana pidana mati digunakan pada dugaan kasus korupsi ekspor sawit mentah.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi langkah cepat Jaksa Agung dalam persoalan kelangkaan minyak goreng. Namun, melempar wacana pidana mati ke publik justru dapat mempersulit kinerja kejaksaan. 

Peneliti ICJR Iftitahsari mengatakan, dalam menerapkan pidana mati untuk kasus korupsi terbatas pada keadaan tertentu yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

Antara lain hanya ketika korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan merupakan pengulangan/residivis tipikor. 

Meskipun dari sisi waktu kejadian memang terjadi saat pandemi, namun kejaksaan perlu mencermati dengan lebih jeli apakah kronologi ekspor sawit mentah yang diduga mengakibatkan kelangkaan suplai minyak goreng domestik dalam kasus ini termasuk juga dalam kriteria keadaan tertentu yang dimaksud Pasal 2 ayat (2) tersebut. 

"Sejauh ini berdasarkan kasus posisi dan penjelasan kejaksaan, kasus minyak goreng belum memenuhi kriteria dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tersebut. Memaksakan penggunaannya justru akan menghabiskan tenaga dan fokus dari kejaksaan sendiri," kata Iftitahsari dalam keterangan tertulis, Sabtu, 23 April 2022.

Baca juga:

Dirjen Daglu Jadi Tersangka Korupsi Minyak Goreng, DPR: Menteri Perdagangan Harus Diperiksa

ICJR memandang bahwa pemberantasan korupsi akan jauh lebih efektif jika memaksimalkan langkah-langkah pencegahan melalui perbaikan sistem pemerintahan. Sedangkan penegak hukum khususnya kejaksaan juga lebih baik memaksimalkan proses penegakan hukum yang ada dengan mengusut potensi pencucian uang, mengejar beneficial owner bukan hanya pelaku lapangan, hingga mengupayakan pemulihan/perampasan aset. 

"Sehingga orientasinya bukan pada menghukum pelaku lapangan yang umumnya bisa tertangkap dengan seberat-beratnya hukuman seperti pidana mati, namun memastikan seluruh pelaku yang bertanggung jawab dapat dihadapkan ke pengadilan dan mengejar seluruh aset pelaku yang dapat dirampas hingga menjatuhkan pidana tambahan seperti denda atau pembayaran uang pengganti untuk kepentingan negara," katanya.

Kemudian, jika langkah yang dipilih adalah pidana mati, maka secara teknis hukum, kejaksaan tidak akan dapat melakukan penegakan hukum secara maksimal karena terbentur Pasal 67 KUHP yang prinsipnya melarang adanya pidana tambahan seperti denda dan uang pengganti bagi orang yang telah dituntut/dijatuhi pidana mati. 

Negara akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh penggantian kerugian negara yang semaksimal mungkin dari para pelaku, padahal upaya ini sangat penting untuk dijadikan sebagai sumber dana pemulihan ke depan. 

Pidana mati juga hanya dapat dijatuhkan kepada orang perseorangan, bukan untuk korporasi. Ketika proses penyidikan hanya fokus untuk mengejar orang supaya dijatuhi pidana mati, maka dalam proses pengembangan penyidikan tersebut sangat berpotensi mengaburkan fokus penegakan hukum yang seharusnya juga dapat mengejar korporasi-korporasi yang terlibat.

Kejaksaan kata Iftitahsari, juga perlu hati-hati untuk menerapkan hukuman mati dalam tindak pidana korupsi sebab pada akhirnya hanya akan menjadi kontraproduktif, khususnya dalam konteks pengusutan aset pelaku maupun permohonan ekstradisi untuk jaringan pelaku tindak pidana korupsi lainnya yang berada di luar negeri. 

Program MLA (Mutual Legal Assistance) yang merupakan kerja sama bilateral antara Indonesia dengan negara-negara lain dapat dipastikan tidak akan berjalan. 

Hukum yang berlaku di negara-negara Eropa, Australia, dan Argentina misalnya, permohonan ekstradisi akan ditolak apabila orang yang akan diekstradisi berpotensi diancam dengan pidana mati atau apabila negara yang menjadi tujuan ekstradisi tidak dapat menjamin bahwa pidana mati tidak akan diterapkan pada orang yang diekstradisi. 

"Pilihan untuk menerapkan hukuman mati malah akan menghambat proses penegakan hukum kasus korupsi. Kami mendukung penuh langkah Jaksa Agung dalam mengusut tuntas kasus kelangkaan minyak goreng, atas dasar itu. ICJR merekomendasikan agak Jaksa Agung lebih fokus pada membongkar jaringan, keterlibatan para aktor yang lebih berpengaruh, memulihkan kerugian negara, dan membantu pemerintah untuk menciptakan sistem pencegahan kejadian serupa untuk melindungi masyarakat," tukasnya. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya