Jakarta - Berbagai pihak berpendapat bahwa rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi merusak Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menegaskan RKUHP tersebut masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah.
Diketahui, draf final RKUHP tersebut akan dibawa ke Paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang pada Selasa, 6 Desember 2022.
"Jadi yang terjadi adalah kerusakan negara hukum dan demokrasi," kata Bivitri saat diskusi Kedai Kopi, di Jakarta Pusat, Minggu, 4 Desember 2022.
Menurut dia ada beberapa pasal dalam RKUHP yang bisa digunakan dengan mudah sebagai alat kriminalisasi terhadap rakyat.
Salah satunya yaitu bentuk kritik masyarakat terhadap lembaga negara, kepala negara dan simbol negara, termasuk soal ideologi rakyat yang bertentangan dengan Pancasila.
"Satu saja yang mengerikan sekali, kalau kita membahas soal ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Itu luas banget, bukan cuma marxisme, leninisme, kok bisa ya itu dikriminalkan. Tapi bahkan apa pun yang dianggap bertentangan dengan Pancasila nanti bisa dipidana," ujarnya.
Jika RKUHP disahkan, lanjutnya, kritik dan kontrol dari rakyat untuk pemerintah akan dibatasi bahkan rentan dipidana.
Ia menegaskan bahwa RKUHP dibuat hanya untuk kenyamanan penguasa, termasuk presiden.
"Iya ini untuk kenyamanan presiden," tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad memastikan bahwa pihaknya bakal mengesahkan RKUHP sebelum menjalani masa reses pada pertengahan Desember 2022.
"Menurut hasil komunikasi dengan ibu Ketua DPR dalam waktu dekat kita akan rapikan dan insya allah sebelum kami memasuki masa reses di masa sidang ini RUU KUHP akan disahkan di paripurna DPR," kata Dasco menanggapi disetujuinya RUU KUHP pada pembicaraan Tingkat I di Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 25 November 2022.[]