Garoga - Setelah melalui identifikasi forensik langsung, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Bareskrim Polri ungkap temuan awal jenis kayu gelondongan yang terbawa banjir di Garoga, Batangtoru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Diungkap ada 15 jenis pohon yang terbawa arus. Lima jenis pohon sudah teridentifikasi, lainnya masih dalam penelitian.
Hal itu terungkap dalam konferensi pers Bareskrim dan Kemenhut di Garoga, Tapsel pada Rabu, 10 Desember 2025.
Tim gabungan polisi dan Kemenhut turun langsung ke lokasi melakukan penyisiran, pengukuran, dan pengambilan sampel kayu di sepanjang aliran sungai dan jembatan yang terdampak banjir dan longsor.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) Kemenhut menegaskan bahwa masifnya alih fungsi lahan di Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Utara merupakan salah satu faktor yang memperparah bencana banjir pada 25 November lalu.
Kasubdit Perencanaan Pengelolaan DAS Ditjen PDASRH Kemenhut, Catur Basuki Setyawan, menjelaskan bahwa banjir di Sumatera Utara melanda 13 daerah aliran sungai atau DAS yang tersebar di 11 kabupaten/kota.
Pada periode 2019–2024, wilayah ini mengalami perubahan tutupan lahan hutan seluas 9.424 hektare, dengan 36,4 persen terjadi di dalam kawasan hutan dan 63,6 persen di luar kawasan.
Perubahan tutupan di DAS Garoga, yaitu perubahan tutupan lahan hutan menjadi nonhutan seluas 28.885 hektare.
“Di kawasan hutan hanya sekitar 0,4 persen, sementara di luar kawasan hutan mencapai sekurang-kurangnya 99 persen. Ini khusus untuk DAS Garoga,” jelasnya.
Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda Kemenhut, Yandi Irawan Sutisna, mengungkapkan bahwa tim telah mengumpulkan 43 sampel kayu dari berbagai titik terdampak, di antaranya Jembatan Garoga 1, Jembatan Garoga 2, serta beberapa lokasi di kilometer 4, 6, dan 8 di sepanjang aliran Sungai Garoga.
Di Jembatan Garoga 1, tim mengidentifikasi 18 sampel dari 10 jenis pohon.
Sementara itu, di Jembatan Garoga 2 ditemukan 7 sampel dari 6 jenis pohon, termasuk nyatoh, bayur, karet, puspa, dan durian.
Material kayu tersebut terbawa arus deras dan menumpuk di titik-titik penyempitan aliran sungai, terutama di sekitar jembatan, sehingga memperbesar tekanan air dan memperburuk dampak banjir bandang yang melanda permukiman warga.
“Hingga kini sudah teridentifikasi 15 jenis pohon. Tujuh jenis lainnya masih kami bawa ke laboratorium untuk pemeriksaan lanjutan. Sebagian besar merupakan pohon karet, meranti, dan durian, jenis tanaman yang umumnya tidak tumbuh di hutan alam,” ujar Yandi.
“Setiap sampel kami pastikan apakah berasal dari tebangan, runtuhan, atau tumbang akibat longsor. Ada yang jelas bekas potongan mesin, ada pula yang tercabut bersama akarnya,” tambahnya.
Kepala Seksi Perencanaan dan Evaluasi BPDAS Asahan Barumun, Kristo Damanik, menjelaskan bahwa DAS Garoga memiliki karakteristik hulu–hilir yang sangat pendek, hanya sekitar 58 kilometer.
“Dengan karakter sungai seperti ini, material dari hulu dapat bergerak cepat menuju hilir. Inilah sebabnya kayu dalam jumlah besar tersapu dan menumpuk di Jembatan Garoga 2, meningkatkan tekanan air dan memperparah dampak banjir,” ujarnya.
Selain itu, tim Kemenhut dan Bareskrim juga menemukan area bukaan lahan dengan kemiringan curam serta sejumlah alat berat yang kini telah diamankan untuk memastikan apakah terdapat indikasi pembukaan lahan yang tidak sesuai ketentuan.
Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Brigjen Pol Moh. Irhamni, menegaskan bahwa penyidik telah memasang garis polisi di sejumlah titik penting sepanjang aliran Sungai Garoga dan melakukan pengambilan sampel lanjutan.
“Dua jembatan sudah diperiksa, dan seluruh area signifikan telah diberi police line,” jelas Irhamni.
Kemenhut memastikan akan terus memberikan dukungan data teknis, hasil identifikasi sampel kayu, analisis DAS, serta dokumen pendukung lainnya untuk memastikan proses penegakan hukum berjalan objektif, profesional, dan berbasis bukti ilmiah. []