News Kamis, 24 Maret 2022 | 17:03

Begini Jawaban Hakim MK terhadap Din Syamsuddin Cs yang Menguji UU IKN

Lihat Foto Begini Jawaban Hakim MK terhadap Din Syamsuddin Cs yang Menguji UU IKN Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto: MK)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Perkara nomor: 34/PUU-XX/2022 diuji oleh 21 orang pemohon, di antaranya Azyumardi Azra, Din Syamsuddin, Didin S Damanhuri, dan lainnya. 

Mereka menguji secara formil sekaligus secara materiil keseluruhan UU IKN yang dinilai cacat formil.

Din Syamsuddin Cs beranggapan bahwa proses pembentukan UU IKN dilakukan hanya dengan mendengar masukan dari berbagai narasumber.

Namun tidak ada pertimbangan dan penjelasan atas berbagai pertimbangan yang sangat merepresentasikan pandangan Din Syamsuddin Cs.

Sehingga mengakibatkan hak Din Syamsuddin Cs memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya menjadi dirugikan.

Dan mengakibatkan tidak terpenuhinya jaminan pengakuan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

“Terkait pengujian materiil UU No. 3/2022, para pemohon merasa dirugikan dengan lahirnya Pasal 1 ayat (2) dan ayat (8), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4) UU No. 3/2022. Ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Karena tidak terpenuhinya jaminan pengakuan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” jelas Ibnu Sina kepada Ketua Panel Aswanto dalam sidang yang berlangsung Kamis, 24 Maret 2022.

Mengenai alasan pengujian formil, Din Syamsuddin Cs berdalih bahwa Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. 

Apabila pembentukan peraturan perundang-undangan justru menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk memperdebatkan dan mendiskusikan isinya, maka dapat dikatakan pembentukan peraturan perundang-undangan melanggar kedaulatan rakyat.

Sedangkan mengenai alasan pengujian materiil, ungkap Din Syamsuddin dkk, menurut ketentuan dalam UU IKN bahwa format ibu kota negara nusantara adalah satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi.

Baca juga: Persunting Adik Jokowi, Anwar Usman Sebaiknya Mundur dari Ketua MK

Menyelenggarakan urusan pemerintahan di ibu kota negara nusantara, diselenggarakan oleh otorita ibu kota negara nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan daerah khusus ibu kota negara nusantara.

Dengan demikian, menurut mereka, format ibu kota negara nusantara tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah.

Untuk itu, dalam petitumnya, Din dkk meminta MK menyatakan pembentukan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

“Menyatakan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (8), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Nomor 41 dan Tambahan Lembaran Negara No. 6766) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tandas Ibnu Sina. 

Terhadap dalil-dalil para pemohon, Ketua Panel Aswanto menyampaikan bahwa permohonan pengujian UU IKN yang diajukan para Pemohon merupakan gabungan pengujian formil dan materiil.

“Padahal Putusan MK sudah menyatakan ada pemisahan pemeriksaan permohonan formil dan materiil. Jadi kalau ingin dilakukan pemeriksaan secara paralel, harus dipisah antara permohonan formil dan materiil. Ini jadi masukan bagi para Pemohon, apakah permohonan pengujian formil akan dipisah dengan pengujian materiil,” ujar Aswanto dilansir dari situs MK.

Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul meneruskan hal terkait pengujian formil dan materiil. 

“Kalau pengujian formil sudah dikabulkan, apa ada masalah lagi? Tidak ada lagi yang dipermasalahkan untuk materiilnya. Kalau formilnya sudah diterima, maka tidak perlu mempersoalkan materiilnya. Itu prinsipnya. Jadi kalau nanti mau jadi pemeriksaan paralel, konsekuensinya kami tidak bisa menjangkau pemeriksaan materiil,” kata Manahan.

Hal lain, Manahan mencermati permohonan Din Dkk belum memenuhi sistematika permohonan seperti disebutkan dalam Peraturan MK (PMK) No. 2 Tahun 2021. 

“Susunannya masih terbalik, membuat kedudukan hukum, baru kewenangan Mahkamah. Seharusnya tersusun sistematis, mulai dari identitas pemohon, kewenangan mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum,” jelas Manahan.

Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyerahkan kepada Din Dkk untuk tetap melanjutkan permohonan atau mengubah permohonan, misalnya memisahkan dengan mendahulukan permohonan pengujian formil meski ada batas waktunya. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya