Jakarta - Senator asal Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang menyebut, sejauh ini di Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), belum ada pembahasan atau usulan untuk membahas perubahan UUD 1945, terutama dalam urusan masa jabatan presiden.
Hal itu diungkapnya saat mengikuti kegiatan Dialog Kebangsaan Seri 2 bertema ‘Kudeta Konstitusi: Indonesia Menuju Negara Diktator’.
Kegiatan diselenggarakan oleh DPP Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo) Masa Pelayanan 2021-2026 secara virtual, pada Selasa, 8 Maret 2022 lalu.
“Yang ada, beberapa kawan sesama anggota DPD, bisik-bisik di luar, mengenai masa jabatan presiden ini. Dan yang saya tangkap, teman-teman itu tidak setuju dengan perubahan masa jabatan atau pun perpanjangan masa jabatan Presiden itu,” tutur Teras Narang.
Mantan Gubernur Kalimantan Tengah dua periode ini menyebut, dalam melakukan perubahan UUD 1945, ada mekanisme panjang yang harus diikuti. Setiap anggota DPR bersama anggota DPD untuk MPR, juga dihitung dalam pengusulan perubahan UUD 1945.
Baca juga: Menteri Bahlil ke GAMKI-GMKI: Ada Sejarah Indonesia Memajukan dan Memundurkan Pemilu
“Itupun belum tentu usulan akan disetujui untuk melakukan pembahasan. Mesti jelas data, fakta dan juga prosesnya. Nah, kami di DPD belum ada membahas soal itu. Mungkin nanti dalam rapat DPD akan coba ditanyakan,” tutur Teras Narang.
Mantan Ketua Komisi II dan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDIP ini juga menyatakan tidak setuju agar usulan perubahan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden itu dibahas di DPD dan MPR.
“Sebab, sejauh ini tidak ada usulan, dan tidak ada kondisi yang memaksa agar itu dibahas. Situasi Indonesia aman-aman saja. Masih dalam kendali yang normal. Kita memang harus taat dan tunduk kepada konstitusi kita yakni UUD 1945,” ujar dia.
Ketua Umum DPP Parkindo Lukman Doloksaribu menyampaikan, setiap Warga Negara Indonesia wajib taat dan tunduk kepada ketentuan di UUD 1945.
Upaya-upaya untuk melakukan perubahan konstitusi bukan pada tempatnya, lanjut Lukman Doloksaribu, layak diidentifikasi sebagai pihak-pihak yang mencoba melakukan makar dan hendak mengubah tatanan berbangsa dan bernegara secara ilegal.
“Kami DPP Parkindo tegak lurus dengan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu UUD 1945. Dan ini akan kita gerakkan terus, agar taat dan tunduk kepada Konstitusi,” tandas Lukman Doloksaribu.
Baca juga: Guru Besar UKI Sebut Jokowi Layak Diberi Penghargaan Bapak Taat Konstitusi
Guru Besar Hukum Tata Negara UKI Prof John Pieris yang menjadi pembicara dalam kegiatan itu, tidak menafikan bahwa UUD 1945 bisa diamandemen atau diubah. Tetapi, tegasnya, persyaratan dan kondisi maupun faktor-faktor untuk mengubah konstitusi itu tidak mudah.
Bahkan, katanya, jika pun di Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 menyebut ‘Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang’, itu pun bukan berarti presiden dengan mudahnya mengeluarkan perpu.
“Syaratnya sangat berat, rumit dan sangat tidak mudah. Perpu pun harus taat kepada konstitusi. Harus menurut UUD 1945. Tidak boleh hanya karena desakan kelompok kepentingan belaka, tidak boleh hanya karena keinginan-keinginan sepihak belaka. Atau, tidak boleh juga hanya karena keinginan parpol saja. Jadi UUD 1945 itu wajib hukumnya untuk ditaati dan dipatuhi,” terang John Pieris.
Bagi Prof John Pieris, pihak-pihak yang sedang berupaya mengutak-atik UUD 1945 saat ini, adalah pelecehan terhadap Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
“Itu sama saja juga melecehkan para reformator Indonesia, mencederai hasil-hasil perjuangan reformasi. Yang menginginkan waktu itu, agar masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi. Agar seluruh rakyat bisa mengawasi dan mengawal kinerja kekuasaan,” tuturnya.
Soal mengubah konstitusi, John Pieris mengingatkan agar tidak semena-mena dan tidak semudah berkoar-koar di media-media. Sebab, ada mekanisme panjang, ada kondisi yang sangat darurat, atau kepentingan jangka panjang Bangsa Indonesia, yang harus dipertimbangkan secara riil dan nyata.
“Mengubah UUD 1945 memang tidak tabu. Namun bukan berarti jadi bisa sewenang-wenang menyatakan mengubah Konstitusi. Mengubah Konstitusi juga harus taat kepada Konstitusi itu sendiri,” jelasnya.
Baca juga: Mengada-ada, Menunda Pemilu dengan Alasan Tak Ada yang Lebih Baik dari Jokowi
Prof John Pieris menyebut ungkapan salah seorang tokoh bangsa Indonesia, dokter Johannes Leimena, yang di era Presiden Soekarno adalah seorang yang taat konstitusi dan tidak mendewakan kekuasaan dalam memimpin negara.
“Seperti dokter Johannes Leimena pernah menyampaikan, ‘Politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani’. Jadi, berpolitik itu juga harus beretika dan melayani rakyat dengan sungguh-sungguh. Itulah yang mesti dikedepankan. Bukan kepentingan sesaat dan kepentingan sesat ya,” tutur Prof John Pieris.
Prof John Pieris juga mengingatkan, konstitusi adalah juga tatanan untuk menjadikan politik dan demokrasi di Indonesia menjadi sehat dan langgeng.
Karena itu, UUD 1945 perlu dijaga dan dirawat dengan baik. Dan yang paling terdepan menjaga dan merawat UUD 1945 itu adalah Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, Lembaga-Lembaga Negara, Lembaga-Lembaga Pemerintahan, Partai Politik dan seluruh elemen masyarakat Indonesia.
“Dalam pendekatan filsafat hukum, politik dan demokrasi itu harus sehat. Dan dirawat dengan sehat juga. Jangan ada lagi anasir-anasir oligarki sempit atau tirani sempit yang mencoba mengkudeta Konstitusi kita. Kita semua harus menjaga dan merawat konstitusi kita,” tandas Prof John Pieris. []