Hukum Minggu, 05 Maret 2023 | 19:03

Cacat Logika dan Keliru PN Jakpus soal Penundaan Pemilu, PSHK FH UII: Batal Demi Hukum

Lihat Foto Cacat Logika dan Keliru PN Jakpus soal Penundaan Pemilu, PSHK FH UII: Batal Demi Hukum Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI), Hasyim Asy'ari. (Foto: Opsi/Eka Musriang)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FK UII) merespons secara akademik putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait penundaan Pemilu 2024.

Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt Pst dibacakan pada Kamis, 3 Maret 2023. Tentang perkara gugatan dari Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang intinya gugatan perbuatan melawan hukum (PMH). 

Yuniar Riza Hakiki dari PSHK FH UII menegaskan, PN Jakpus telah mengeluarkan putusan yang intinya mengabulkan permohonan Partai Prima sebagai pihak yang dirugikan.

Menyatakan KPU melakukan PMH, dan menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih kurang dua tahun empat bulan atau mengulang tahapan dari awal.

"Putusan PN Jakpus hakikatnya merupakan sebuah cacat logika dan keliru dalam praktik penyelenggaraan hukum Indonesia," kata Yuniar dalam siaran pers yang dikutip Opsi, Minggu, 5 Maret 2023.

Dikatakannya, ada dua hal yang merupakan kekeliruan, diantaranya substansi perkara pada hakikatnya bukan merupakan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) bidang keperdataan.

Melainkan perkara gugatan sengketa kepemiluan atas keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh KPU.

Sehingga secara kompetensi absolut, PN Jakpus seharusnya tidak berwenang mengadili substansi perkara yang berkaitan dengan sengketa pemilu.

Yuniar menegaskan, PN Jakpus tidak berwenang memutus penundaan tahapan pemilu, karena tahapan pemilu tidak hanya menyangkut kepentingan hukum para pihak yang berperkara dalam sengketa keperdataan.

Sehingga meskipun putusan PN Jakpus pada aspek tertentu dinilai memulihkan kerugian Partai Prima, tetapi dengan menghukum KPU untuk menunda tahapan pemilu justru merugikan kepentingan hukum yang lebih luas.

Misalnya parpol yang sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 serta rakyat selaku pemilih akan kehilangan hak pilih pada pemilu yang seharusnya diselenggarakan setiap lima tahun.

Diungkapnya lagi, tidak ada sama sekali mekanisme Penundaan Pemilu di Konstitusi dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.

Menurut UU Pemilu, yang ada hanyalah penundaan pemungutan suara. Dan hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia atau secara nasional. 

BACA JUGA: Putusan PN Jakpus untuk Tunda Pemilu 2024, Mahfud Md: Salah Kamar, Abaikan Saja

"Sehingga pelaksanaan Pemilu setiap 5 tahun harus tetap dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan pada Tahun 2024 nanti," tukasnya. 

Hal ini imbuh dia, sejalan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.

Menurut pihaknya, problem yang ditimbulkan dari Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt Pst mengindikasikan majelis hakim PN Jakpus keliru dalam menerapkan hukum saat memutus perkara. 

"Oleh karena itu, kami memandang perlu Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung memeriksa majelis hakim PN Jakpus yang mengadili perkara tersebut, dan apabila terbukti melanggar kode etik dan hukum maka harus diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan," katanya.

Selanjutnya kata Yuniar, berdasarkan alasan-alasan di atas, maka putusan PN Jakpus yang dibangun atas cacat logika hukum, yakni kekeliruan kompetensi pengadilan negeri dalam memeriksa perkara kepemiluan.

Kemudian menyebabkan kerugian yang berdampak secara luas bahkan inkonstitusional. 

"Maka hakikatnya putusan tersebut batal demi hukum (never existed)," tukasnya.

BACA JUGA: PN Jakarta Pusat Perintahkan KPU Tunda Pemilu 2024, Jeirry: Itu Berlebihan

PSHK FH UII kata Yuniar, merekomendasikan KPU tidak perlu melaksanakan putusan PN Jakpus terkait penundaan tahapan pemilu, dan dapat mengupayakan upaya hukum banding agar putusan tersebut dikoreksi Pengadilan Tinggi. 

Kepada Komisi Yudisial untuk memeriksa majelis hakim yang memutus perkara, kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung agar mengawasi dan memperingatkan hakim-hakim agar taat kompetensi absolut dan relatif. 

Meminta presiden agar mengawal pemilu sesuai amanat konstitusi, yakni dilaksanakan setiap lima tahun sekali. 

"Kepada masyarakat umum, agar memantau dan mengawal pemilu agar tetap dilaksanakan pada tahun 2024 sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan," tandasnya. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya