Jakarta - Merespons gejolak harga dan kelangkaan minyak goreng, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan, yakni akan menghentikan ekspor minyak goreng dan bahan produk sawit untuk minyak goreng.
Kebijakan yang terbilang keras ini, berlaku mulai Kamis, 28 April 2022. Ini dilakukan demi menyelamatkan pasokan minyak goreng di dalam negeri, terutama di masa Ramadan dan menjelang Lebaran Idul Fitri.
Gerakan Masyarakat Awasi Kartel (Germak) menilai langkah Presiden Jokowi ini belum sepenuhnya memulihkan pasokan minyak goreng di pasar, terutama pasar tradisional.
"Menjelang diimplementasikannya larangan ekspor bahan produk sawit untuk minyak goreng dalam bentuk refined bleaching deodorizing palm oil (RBDPO) dan ekspor minyak goreng, terpantau pasar dan harga minyak goreng di dalam negeri belum terkoreksi berarti," kata Peneliti Senior Indonesia Budget Center Roy Salam dalam keterangan tertulis, Rabu, 27 April 2022.
Dia mengatakan, koreksi terjadi baru dalam bentuk diskon minyak goreng, yang terpantau lewat pengawasan di beberapa pasar di Jabodetabek dan daerah pengawasan Germak.
Yaitu suatu kesepakatan harga yang terjadi, antara penjual dan pemilik barang atau principal untuk beberapa produk minyak goreng premium.
Hal ini kata Roy, menunjukkan masih diperlukan upaya tegas dari pemerintah untuk menyeimbangkan pasokan sehingga harga minyak goreng dapat tertarik turun.
"Belum juga dapat terpantau apakah peringatan presiden minggu lalu betul-betul efektif menurunkan ekspor minyak goreng dan berdampak pada peningkatan pasokan minyak goreng di pasar," tukasnya.
Baca juga:
Gara-gara Minyak Goreng, Kepuasan Publik terhadap Kinerja Jokowi Menurun
Di sisi lain sambung dia, kejelasan dari penyelesaian klaim produksi minyak goreng curah subsidi dari para produsen minyak goreng curah subsidi, masih belum ditemukan titik temu.
Ini kemudian membuat tidak ada sama sekali jaminan ketersediaan volume minyak goreng curah di pasaran, terutama pasar tradisional di Jabodetabek dan beberapa daerah.
Diketahui, keterlambatan pembayaran nilai klaim subsidi kepada produsen minyak goreng oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebagaimana diatur Peraturan Menteri Perindustrian, dipicu keterlambatan penentuan lembaga surveyor yang akan memverifikasi laporan produksi oleh produsen lewat SIMIRAH.
Akibat keterlambatan pembayaran ini, nilai volume minyak goreng curah subsidi yang beredar di pasaran belum dapat mengimbangi permintaan pasar. Sehingga harga yang ditentukan di tingkat konsumen (harga acuan/HAK) masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga eceran tertinggi atau HET.
"Fakta ini juga kami nilai dapat memunculkan potensi kerugian keuangan publik dari klaim subsidi yang seharusnya dihitung dari selisih antara HET dan HAK," tandas Jeirry Sumampow, Koordinator TePI Indonesia yang tergabung dalam Germak.
Terkait dengan hal ini kata Jeirry, Germak meminta pemerintah untuk lebih kuat lagi merumuskan kebijakan yang dapat menjamin keterpenuhan pasokan minyak goreng di pasar premium maupun curah sehingga masyarakat secara sistem tidak dirugikan. []