Daerah Rabu, 16 Maret 2022 | 16:03

Cerita Warga Janji Maria Toba, Menjadi Transmigran di Wilayahnya Sendiri 

Lihat Foto Cerita Warga Janji Maria Toba, Menjadi Transmigran di Wilayahnya Sendiri  Plank transmigrasi di Desa Janji Maria, Kabupaten Toba, Sumatra Utara. (Foto: Opsi/Alex)
Editor: Tigor Munte

Toba - Sebelum tahun 2000, Dusun Janji Maria yang sebelumnya masuk ke Desa Pangururan, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatra Utara, hanya dihuni 16 kepala keluarga. 

Saat itu kondisi Dusun Janji Maria sangat memprihatinkan karena ketiadaan akses jalan ke pusat kecamatan, layanan kesehatan, dan pendidikan. 

Bahkan anak sekolah yang masih kelas 1 SD terpaksa kos di Desa Pangururan karena jarak tempuh mencapai 9 kilometer dan jalan yang curam. 

"Waktu zaman saya kelas 1 SD harus kos ke Pangururan untuk sekolah karena sangat jauh dari sini," sebut Marojahan Sitanggang, salah satu warga saat menggelar pertemuan dengan Komnas HAM di Balai Desa setempat pada Rabu, 16 Maret 2022 siang. 

Transmigran

Saat itu sebagian warga sempat berniat meninggalkan Janji Maria. Namun pada akhirnya di tahun 2002 warga memutuskan untuk mengajukan dusun mereka menjadi daerah tujuan transmigrasi, dengan harapan agar daerah mereka bisa berkembang. 

Hingga akhirnya pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Dusun Janji Maria menjadi daerah tujuan transmigrasi untuk 100 kepala keluarga. 

Sebanyak 25 kepala keluarga berasal dari Aceh, 5 kepala keluarga dari Kabupaten Ciamis dan 70 kepala keluarga lain merupakan warga transmigrasi lokal, termasuk 16 kepala keluarga yang sebelumnya tinggal di Dusun Janji Maria.

Saat proses pemindahan warga, Departemen Transmigrasi memberikan 1,25 hektare lahan kepada warga transmigrasi dengan rincian 1 hektare untuk daerah perladangan dan 0,25 hektare untuk tempat mendirikan rumah. 

Saat itu, Departemen Transmigrasi juga berjanji akan menerbitkan sertifikat hak milik terhadap 100 kepala keluarga untuk lahan 1,25 hektare tersebut dalam lima tahun ke depan. 

Jalan provinsi yang melintasi Desa Janji Maria, Kabupaten Toba, Sumatra Utara. (Foto: Opsi/Alex)

Namun hingga Dusun Janji Maria mekar menjadi desa pada tahun 2009, bahkan hingga kini, tahun 2022 janji itu tidak kunjung direalisasikan. 

Kini penduduk Desa Janji Maria tersisa 76 kepala keluarga karena sebagian warga transmigrasi memilih pindah. "Sekarang tinggal 76 KK," sebut Kepala Desa setempat, Poltak Pasaribu. 

"Saya adalah satu-satunya warga transmigrasi yang tersisa dari Kabupaten Ciamis. Saya memilih bertahan di sini karena masyarakat di sini sangat baik dan ramah. Jadi selama ini kami warga di sini sudah berulang kali menagih janji soal sertifikat hak milik, tapi tidak kunjung direalisasikan," ujar Jono, salah satu warga transmigrasi yang berasal dari Kabupaten Ciamis. 

Jono menambahkan, pihak BPN dari provinsi bahkan sudah pernah melakukan pengukuran lahan, namun hasilnya tetap nihil. 

"Transmigrasi bahkan mengatakan kalau data-data warga transmigrasi di sini sudah tidak ada lagi," Jono melanjutkan. 

Mirisnya lagi, 50 persen lahan dari penduduk transmigrasi yang dijanjikan oleh departemen transmigrasi masuk dalam kawasan hutan negara dan kawasan konsesi perusahaan PT Toba Pulp Lestari (PT TPL). 

Bahkan terdapat 16 kepala keluarga yang tidak dapat mengolah lahan perladangan yang dijanjikan pemerintah karena tetap dikelola oleh pihak PT TPL. 

Tanah Adat

Selain persoalan transmigrasi, masalah lain di Desa Janji Maria adalah masalah pengakuan masyarakat adat. 

Pada tahun 2021 masyarakat adat mengajukan pelepasan hutan adat mereka seluas 4.300-an hektare ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), karena sebelumnya hanya 171 hektare daerah Desa Janji Maria yang tidak masuk kawasan hutan. 

"Tahun 2021 kami ajukan permintaan ke KLHK agar 4.300-an hektare itu diakui sebagai hutan adat, namun yang dialokasikan menjadi hutan indikatif hanya 118 hektare," ukar Rocky Pasaribu, Koordinator Bidang Studi Advokasi KSPPM, selaku lembaga yang mendampingi warga Janji Maria. 

Sayangnya, hutan seluas 118 hektare tersebut belum sepenuhnya diakui sebagai hutan adat karena Bupati Toba tidak bersedia menandatangani surat keputusan pengakuan wilayah adat dan masyarakat adat. 

"Meski KLHK sudah mengalokasikan itu, belum sepenuhnya itu diakui karena Bupati Toba tidak mengakui keberadaan masyarakat adat. Jadi Poltak Sitorus selaku Bupati Toba sudah melakukan pelanggaran HAM bagi masyarakat adat Janji Maria," lanjut Rocky. 

Bidan Desa Meninggal

Selain persoalan warga transmigrasi dan masalah hutan adat, masalah lain yang dialami warga Desa Janji Maria adalah persoalan jalan dan layanan kesehatan. 

Menurut warga, jalan yang melalui desa mereka berstatus jalan provinsi, namun jalan itu tidak terhubung ke kecamatan. "Namanya jalan provinsi, tapi tikus pun tidak bisa lewat," ujar Jono. 

Padahal jarak dari Desa Janji Maria ke pusat kecamatan hanya 9 kilometer. 

"Jadi kalau kami mau ke Puskesmas  harus melalui jarak 50 kilometer dan waktu tempuhnya bisa sampai dua setengah jam kalau naik sepeda motor," sambung kepala desa, Poltak Pasaribu. 

Pustu yang ditumbuhi rerumputan di Desa Janji Maria, Kabupaten Toba. (Foto: Opsi/Alex)

Selain untuk menuju layanan kesehatan, warga juga terpaksa harus melalui perjalanan hingga 50 kilometer untuk membeli perbekalan hidup ke pasar. 

"Kalau hasil pertanian dijemput toke (tengkulak) ke sini, tapi harganya jauh lebih rendah," lanjutnya. 

Sementara untuk layanan kesehatan, di desa ini hanya terdapat bangunan Pustu atau Puskesmas Pembantu yang dikelilingi rerumputan karena sudah tidak ditempati sejak tahun 2020 lalu. 

"Sebelumnya Pustu ini sudah lama kosong, kalau tidak salah sejak tahun 2012 tidak ada lagi bidan desa di sini. Tapi pada awal tahun 2020 lalu, pemerintah menempatkan bidan desa ke sini, sayangnya hanya tiga bulan saja karena beliau meninggal dunia," lanjut kepala desa. Sejak meninggalnya bidan desa itu, Pustu di desa ini tidak pernah lagi dihuni. 

Respons Komnas HAM

Menanggapi semua keluhan yang disampaikan warga, Hairansyah selaku Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM menyebut, pihaknya akan menginventarisir semua persoalan, dan kemudian memanggil semua pihak yang terkait, termasuk KLHK, Transmigrasi, BPN/ATR dan pihak lain.

"Pertama kami sudah coba merumuskan masalah pokok di daerah ini. Yang kedua tentu melihat pihak mana saja yang memiliki kompetensi untuk segera bisa menindaklanjuti, melaksanakan tugas dan fungsinya secara pemerintahan untuk menyelesaikan persoalan.

Misalkan tadi ada Dinas Transmigrasi baik provinsi maupun kabupaten, termasuk Kementerian ATR/BPN baik dari pusat sampai ke kabupaten, yang kedua KLHK. Bisa jadi kami akan memanggil para pihak ini untuk memintai keterangan mereka sampai kemudian nanti kami buatkan rekomendasi untuk tindak lanjut yang harus mereka laksanakan," sebutnya kepada awak media usai menggelar pertemuan. [Alex]

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya