Pilihan Selasa, 23 September 2025 | 17:09

Diplomasi Merah Putih: Warisan Bung Karno dan Misi Prabowo di Forum Dunia

Lihat Foto Diplomasi Merah Putih: Warisan Bung Karno dan Misi Prabowo di Forum Dunia Presiden Prabowo Subianto di Forum Sidang Umum PBB Tahun 2025. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Oleh: Teofilus Mian Parluhutan*

Enam dekade lalu, Bung Karno berdiri di podium Perserikatan Bangsa-Bangsa, menatap dunia dengan mata penuh keyakinan dan suara yang bergemuruh dengan pidato “To Build the World Anew” (Membangun Dunia Kembali).

Ia bukan hanya menyampaikan pidato diplomatik, tetapi menitipkan visi besar tatanan dunia yang adil. Sukarno hendak menegaskan bahwa Indonesia tidak hanya hadir sebagai bangsa baru, tetapi sebagai suara hati bagi negara-negara yang lama terpinggirkan.

Keberanian moral yang telah menggumpal dalam semangat Konferensi Asia Afrika 1955. Sebuah panggilan jiwa agar dunia harus dibangun kembali di atas keadilan, kesetaraan, dan solidaritas.

Bung Karno dengan pidato ikoniknya itu memberikan pembelajaran kepada dunia tentang Pancasila sebagai fondasi etis dan landasan moral yang universal. Bung Karno mengajak dunia bahwa diplomasi bukan saja berbasis kepentingan belaka, tetapi berbasis nilai.

Nilai-nilai yang diasuh oleh semangat persaudaraan, kemanusiaan, dan perdamaian. Dalam hal ini Bung Karno pencetus meta diplomasi. Diplomasi berlandaskan nilai-nilai luhur dan visi besar tentang bagaimana seharusnya dunia dibangun. 

Pidato Bung Karno itu pada tahun 2023 ditetapkan PBB melalui UNESCO sebagai ‘Memory of the World’ (Warisan Arsip Dunia). Bung Karno memberikan jejak sejarah dan keteladanan moral dalam pergaulan internasional. Warisan Bung Karno ini menjadikan Indonesia memiliki modal diplomatik untuk memberikan tawaran alternatif untuk dunia yang adil dan setara. 

Kini, giliran Prabowo Subianto yang berdiri di forum yang sama, membawa Astacita, delapan cita-cita besar yang menjadi panduan Indonesia dalam menghadapi tantangan global modern seperti krisis supremasi, konflik geopolitik, ketimpangan ekonomi, krisis iklim, dan disrupsi teknologi.

Ia menghadapi ujian yang berbeda, namun benang merahnya tetap sama, bagaimana Indonesia dapat menegaskan suaranya di panggung dunia, tanpa tunduk pada tekanan kekuatan besar.

Warisan Bung Karno mengingatkan kita bahwa diplomasi bukan sekadar urusan meja perundingan. Diplomasi sejati adalah seni memadukan simbol, ide, dan moralitas agar suara sebuah bangsa terdengar dan dihormati.

Konferensi Asia-Afrika 1955 dan Gerakan Non-Blok adalah bukti konkret bagaimana Indonesia mampu menjadi jembatan bagi bangsa-bangsa yang ingin bebas dari dominasi.

Kini, Prabowo membawa tongkat estafet itu, menyesuaikan bahasa diplomasi dengan konteks modern, namun tetap berpijak pada prinsip keadilan dan solidaritas global.

Tantangan hari ini memang berbeda. Dunia modern menghadapi konflik baru yang tidak selalu terlihat di peta, dominasi teknologi yang membentuk kekuatan baru, ketimpangan ekonomi yang mengancam stabilitas global, serta krisis supremasi dan ketidakpastian global.

Di tengah situasi itu, Indonesia harus tetap berdiri sebagai bangsa yang menawarkan narasi alternatif: diplomasi yang mengutamakan kemanusiaan, kerja sama, dan perdamaian, bukan semata kepentingan politik atau ekonomi jangka pendek. Diplomasi yang menghadirkan win-win solution dan dunia yang adil bukan terjebak dalam zero sum game.

Indonesia memiliki bekal untuk lebih dari sekadar pemain lapisan kedua dalam panggung internasional. Indonesia memiliki modal besar seperti Pancasila, warisan Sukarno, dan posisi strategis sebagai jembatan dunia untuk berkiprah secara signifikan dalam konstelasi global.

Jika modal ini dikawinkan dengan visi kontemporer seperti Astacita, maka Indonesia bisa menawarkan jalan alternatif di tengah kebuntuan geopolitik. Terlebih Indonesia memiliki legitimasi sejarah untuk mewujudkan tatanan dunia yang berkeadilan.

Ini menjadi diplomasi merah putih yang berpijak pada nilai-nilai luhur dan universal, yakni keadilan, solidaritas, dan perdamaian abadi. Diplomasi yang menjadi obor inspirasi yang menerangi di tengah gelapnya krisis global. []

*Penulis adalah Sekretaris Jenderal Front Marhaenis Indonesia

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya