Jakarta – Anggota DPD RI, Pdt. Penrad Siagian, menyoroti berbagai kekhawatiran terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sedang dibahas di DPR RI.
Menurutnya, revisi UU TNI berpotensi mengancam demokrasi, meritokrasi, dan supremasi sipil di Indonesia.
Penrad menilai, pemerintahan Prabowo Subianto menunjukkan peningkatan signifikan dalam penempatan pejabat berlatar belakang militer di posisi strategis di Kementerian/Lembaga (K/L).
Dibandingkan era SBY dan Jokowi, jumlah pejabat militer di kabinet Prabowo melonjak drastis, mencapai sekitar 10 orang, termasuk yang masih aktif. Hal ini, menurutnya, menunjukkan kecenderungan militerisasi dalam pemerintahan.
Lebih lanjut, Penrad menjelaskan bahwa revisi UU TNI, khususnya Pasal 47, berpotensi melegitimasi keterlibatan militer dalam jabatan sipil. Saat ini, TNI hanya boleh menduduki jabatan sipil di 10 lembaga terkait pertahanan.
"Dengan adanya revisi ini, peluang bagi militer untuk masuk ke berbagai posisi sipil, termasuk kementerian dan BUMN, akan terbuka lebar. Hal ini dapat merusak sistem meritokrasi dan profesionalisme TNI," ujar Penrad dalam keterangannya, Jumat, 14 Maret 2025.
Senator asal Sumatra Utara (Sumut) ini juga menegaskan bahwa revisi UU TNI merupakan pengkhianatan terhadap amanat reformasi 1998, yang menuntut penghapusan Dwifungsi ABRI.
Ia menilai, revisi ini akan menghidupkan kembali praktik militerisme Orde Baru, yang berpotensi melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan mengurangi ruang demokrasi.
"Jangan membangkitkan kemarahan rakyat seperti 98 dulu. Kita tahu sejarah tentang peristiwa kerusuhan massa, demonstrasi anti-pemerintah, hingga pembangkangan sipil pada saat itu. Tentu kita tidak ingin hal itu terulang kembali karena revisi UU TNI ini," ujarnya.
Diketahui, beberapa waktu lalu pemerintah sudah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI kepada DPR RI.
Namun, kata Penrad, dari DIM yang diserahkan, draft RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang dinilai akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan menguatkan militerisme.
Penrad sejak awal menilai pengajuan revisi terhadap UU TNI tidak mendesak karena UU TNI No. 34 tahun 2004 masih relevan digunakan untuk membangun transformasi TNI ke arah militer yang profesional.
Sebenarnya, sambungnya, yang perlu diubah adalah aturan tentang peradilan militer yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1997. Prajurit militer harus tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum demi menegakkan asas persamaan di hadapan hukum yang ditegaskan dalam konstitusi.
Ia menilai secara substansi RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah, mulai dari perluasan jabatan sipil yang menambahkan TNI di Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Lantas, dia menegaskan langkah tersebut tidak tepat dan merupakan bentuk dwifungsi TNI. Sebab, lanjutnya, fungsi TNI sejatinya sebagai alat pertahanan negara, sementara Kejaksaan fungsinya adalah sebagai aparat penegak hukum.
"KKP adalah lembaga sipil sehingga tidak tepat ditempati oleh prajurit TNI aktif. Prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan di KKP sudah seharusnya mengundurkan diri," tegasnya.
Penrad menegaskan bahwa yang diperlukan bukanlah perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif, melainkan penyempitan, pembatasan, dan pengurangan.
Ia menuturkan, jika ingin merevisi UU TNI, yang seharusnya dilakukan adalah 10 jabatan sipil yang diatur dalam Pasal 47 ayat 2 UU TNI dikurangi, bukan malah ditambah.
Ia juga mendesak agar seluruh prajurit TNI yang saat ini menduduki jabatan sipil di luar dari 10 lembaga yang diperbolehkan dalam pasal itu, segera mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif TNI.
Penrad pun menyoroti rencana penghapusan Pasal 7 ayat 3 UU TNI, yang mengatur pelibatan militer dalam operasi selain perang. Jika dihapus, militer dapat bergerak tanpa persetujuan Presiden dan DPR, sehingga mengancam kontrol demokratis dan kebebasan sipil.
Sedikitnya 2.500 prajurit TNI aktif menduduki sejumlah jabatan sipil pada 2023. Situasi ini diyakini dapat mengganggu sistem merit di birokrasi sekaligus melemahkan profesionalisme TNI.
Karena itu, rencana memperluas jabatan sipil bagi militer aktif melalui revisi Undang-Undang TNI pun terus ditentang.
Teranyar, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat sejumlah perwira TNI aktif yang menduduki jabatan sipil strategis, bahkan ada yang di luar ketentuan Undang-Undang (UU).
Pdt. Penrad juga menyinggung sejauh ini ada 10 anggota TNI yang menduduki jabatan strategis, walaupun selama ini sudah ada di BUMN dan di badan-badan negara lainnya.
Kemudian, ia mengkhawatirkan implikasi serius jika prajurit TNI aktif menduduki jabatan di Mahkamah Agung, yang dapat mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas.
"Penolakan terhadap revisi UU TNI ini juga bertentangan dengan semangat reformasi. RUU TNI bukan sekadar revisi hukum, tetapi ancaman nyata bagi demokrasi dan hak asasi manusia," pungkas Penrad Siagian.
Oleh sebab itu, Penrad mengingatkan DPR bahwa revisi UU TNI bukan sekadar perubahan regulasi, tetapi ujian bagi komitmen terhadap demokrasi dan amanat reformasi 1998.
"Saya meminta DPR untuk tidak mengabaikan suara rakyat. DPR jangan menghianati reformasi, merusak demokrasi. DPR harus memilih: berdiri di pihak rakyat atau mengkhianati reformasi," ucap Penrad.[]