Jakarta – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, mengungkap adanya dugaan praktik monopoli yang tidak sehat dalam dunia bisnis perfilman Indonesia, yang meliputi rumah produksi, impor film, hingga pengelolaan bioskop.
Hal ini disampaikannya dalam rapat kerja dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Teuku Riefky Harsya, di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis, 6 November 2025.
Lamhot menjelaskan, ditemukan adanya pihak-pihak yang memiliki kepemilikan di tiga lini sekaligus: production house (PH), importir film, dan juga bioskop. Kondisi ini, menurutnya, dapat mematikan persaingan sehat.
"Kalau kemudian dia punya bioskop, dia importir, dia PH, tentu berarti orang tersebut akan memprioritaskan film-filmnya masuk ke layar lebar," ujar Lamhot dalam rapat tersebut.
Lebih lanjut, politisi Fraksi Partai Golkar ini memaparkan data yang memperkuat dugaan ketidaksehatan industri.
Disebutkannya, sekitar 60 persen film nasional hanya ditayangkan di bioskop-bioskop besar, dan film-film tersebut juga hanya berasal dari rumah produksi tertentu.
"Pertama begini, saat ini kami mendapatkan data 60 persen film nasional itu hanya dirilis di bioskop-bioskop besar, dan yang 60 persen ini hanya berasal dari PH-PH tertentu, kan begitu," tegas Lamhot.
"Iya,60 persen, nah, hanya dari 2 nggak sampai 3 PH lah, nah kenapa?" tambahnya dengan nada pertanyaan retoris.
Menanggapi hal ini, Menteri Ekraf Teuku Riefky Harsya menyatakan dukungannya untuk perbaikan industri film ke depannya.
Ia menyebut pihaknya bersama asosiasi terkait siap untuk memberikan data yang komprehensif mengenai kondisi riil di lapangan.
"Tentunya harapannya ada solusi konkrit dari kita semua untuk mendukung perkembangan industri perfilman Indonesia," kata Teuku Riefky.
Ia juga menegaskan bahwa Kemenparekraf terus menjalankan berbagai program untuk mendukung ekosistem perfilman di Indonesia.
"Tadi juga ada yang menanyakan program-program kementerian yang kaitannya mendukung industri film Indonesia itu ada," imbuhnya.
Temuan dan pembahasan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan iklim persaingan yang lebih sehat dan adil, sehingga dapat memajukan industri perfilman nasional.[]