Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari mengatakan pasal 256 dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) teranyar bukan merupakan delik terkait unjuk rasa, melainkan lebih merupakan delik terganggunya ketertiban umum.
"Pasal 256 bukan ditujukan semata unjuk rasa saja, tetapi justru pasal ini deliknya adalah delik terganggunya ketertiban umum, keonaran atau huru-hara," kata Taufik kepada wartawan di Jakarta, Senin, 5 Desember 2022.
Menurutnya, pasal itu ditujukan agar setiap unjuk rasa yang diselenggarakan berkoordinasi dengan pihak aparat sehingga tidak mengganggu ketertiban umum, jalannya lalu lintas, maupun kepentingan pihak lain.
"Sekarang yang paling penting, pasal ini mesti dibaca dengan keseluruhan RKUHP ini yakni semangat dalam RKUHP bukan semangat punitive, karena rencana KUHP baru ini semangatnya dilandaskan pada upaya restorative," ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah dan DPR perlu juga menyosialisasikan pasal tersebut maupun pasal dalam RKUHP lainnya kepada aparat penegak hukum agar tidak salah kaprah dalam menerapkannya dan lebih selektif dalam mengimplementasikannya.
"Jadi sebenarnya yang dipermasalahkan teman-teman bukan substansi pasal, melainkan bagaimana penerapannya," ujarnya.
Lantas, ia menggarisbawahi bahwa materi yang disiapkan dalam penyusunan draf RKUHP pun sudah diperhitungkan sedemikian rupa, sehingga problemnya terletak pada aspek implementasi nanti setelah RKUHP disahkan menjadi undang-undang.
"Problemnya di implementasi, bukan di substansi materi, tapi implementasinya bisa menimbulkan kekhawatiran berdasarkan pengalaman kita selama ini, yang kita perbaiki gimana implementasi ini dengan pemahaman yang benar," tuturnya.
Dia mengatakan bahwa baik eksekutif maupun legislatif bertanggung jawab melakukan sosialisasi ke aparat penegak hukum tersebut, di mana disebutnya masih ada cukup waktu selama tiga tahun sebelum RKUHP yang telah disahkan menjadi undang-undang resmi diterapkan.
"Karena setelah disahkan, ada masa tunggu, masa jeda selama tiga tahun, dan ini menurut saya cukup untuk sosialisasi kepada aparat," kata dia.
Selain itu, terkait masih adanya penolakan rencana pengesahan RKHUP, dia mengatakan bahwa draf RKUHP teranyar sudah mengalami perkembangan dan tidak lagi seperti yang dikhawatirkan oleh berbagai kalangan terhadap pasal-pasal krusial di dalamnya.
"Alangkah baiknya dialog, lead-nya dialog karena ini juga bagian dari kita untuk bisa menerangkan apa saja perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap draf RKUHP yang dalam beberapa hal poin-poin yang disampaikan pihak-pihak yang masih mengkritik atau menolak," ucap Taufik.
Baca juga: Pengesahan RKUHP, Pimpinan DPR: Nanti Jadwal Paripurna Terdekat Akan Diagendakan
Baca juga: Aksi Bentang Spanduk di Car Free Day Jakarta untuk Tolak Pengesahan RKUHP
Dalam draf RKUHP versi 30 November, Pasal 256 berbunyi, "Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".