Jakarta - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP) dinilai lambat memproses penuntasan praktik kejahatan pemilu yang disinyalir dilakukan jajaran pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia kepada anggota KPU daerah.
DKPP sebelumnya sudah menerima aduan dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu pada 21 Desember 2022 lalu. DKPP baru mengirimkan perkembangan pelaporan pada 5 Januari 2023.
"Pelapor selain tidak mendapatkan kepastian hukum, praktik kecurangan pemilu ini pun seakan dianggap angin lalu saja," demikian siaran pers tertulis Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih pada Senin, 23 Januari 2023.
Kecurangan dalam tahapan awal penyelenggaraan pemilu mencuat sejak pertengahan Desember 2022.
Koalisi mendapatkan banyak bukti, baik dokumen maupun elektronik, berkaitan dugaan kecurangan verifikasi partai politik.
Anggota KPU RI disinyalir mengancam anggota KPU daerah untuk meloloskan partai tertentu dalam verifikasi partai politik, baik administrasi maupun faktual.
Disebutkan, dalam beberapa pemberitaan sudah beredar rekaman yang mengarah pada dugaan keterlibatan dua anggota KPU RI, yakni Idham Holik dan Hasyim Asy’ari.
Idham disebut melontarkan pernyataan kontroversi saat perhelatan konsolidasi nasional KPU dengan mengatakan jika tidak patuh terhadap perintah, maka akan “dirumah-sakitkan.”
Sedangkan Hasyim, melalui rekaman layar komunikasi telepon genggam meminta bantuan meloloskan partai tertentu kepada anggota KPU provinsi.
Ada juga rekaman audio disinyalir sedang meyakinkan anggota KPU daerah terkait dengan perintah melakukan kecurangan verifikasi partai politik.
Baca juga: Bawaslu: Waspada Pencatutan Nama di Parpol, Silakan Cek Rutin Sipol
Menurut Koalisi, lambatnya DKPP memproses pelaporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diduga melanggar Pasal 13 ayat (1) juncto ayat (7) juncto ayat (8) Peraturan DKPP RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.
Regulasi ini menjelaskan secara rinci tahapan administrasi saat pelaporan dugaan pelanggaran kode etik yang mewajibkan DKPP untuk memberitahukan perkembangan kepada pelapor paling lambat lima hari setelah dokumen diterima.
Namun sejak laporan dugaan kecurangan verifikasi partai politik disampaikan, DKPP baru mengirimkan perkembangan pelaporan pada 5 Januari 2023.
"Dari sini sudah jelas lembaga pengawas etik tersebut bersikap tidak profesional karena baru menginformasikan hasil pemeriksaan administrasi setelah sebelas hari dokumen diterima," kata Ibnu Syamsu dari Themis Indonesia Law Firm selaku narahubung dari Koalisi.
Koalisi menilai, mestinya DKPP dapat bertindak cepat dalam memeriksa dugaan pelanggaran kode etik ini. Sebab, indikasi kecurangan pemilu yang dilakukan pimpinan KPU RI sudah terang benderang.
Sejak Desember 202 hingga saat ini bukti terkait hal tersebut sudah berseliweran di tengah masyarakat, mulai dari kesaksian dari anggota KPU daerah, bukti dokumen, hingga rekaman suara Ketua KPU RI. Maka dari itu, jika melihat kondisi faktual, hal ini bukan permasalahan “bisa atau tidak bisa” melainkan “mau atau tidak mau” mengusutnya.
"Jangan sampai DKPP justru menjadi bagian yang ingin meredam kecurangan pemilu ini dengan melindungi pimpinan KPU RI," katanya.
Koalisi kemudian mendesak DKPP bertindak cepat, profesional, dan independen dalam menangani pelaporan mengenai dugaan kecurangan tahapan verifikasi partai politik.
Koalisi mendesak DKPP segera menyidangkan pelaporan mengenai dugaan kecurangan tahapan verifikasi partai politik dan DKPP menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian tetap bagi terlapor yang terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar kode etik. []