Daerah Selasa, 31 Mei 2022 | 10:05

Dugaan Pelanggaran HAM oleh Kepolisian terhadap Masyarakat Adat Rendu NTT

Lihat Foto Dugaan Pelanggaran HAM oleh Kepolisian terhadap Masyarakat Adat Rendu NTT Penangkapan warga Rendu yang menolak proyek pembangunan Waduk Lambo di Nusa Tenggara Timur pada 26 September 2021. (Foto: Tangkapan Layar YouTube)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan aparat kepolisian di Wadas, terulang di Waduk Lambo Mbay di Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo didesak menurunkan tim untuk memeriksa aparat dan mencopot Kapolres Nagekeo dan Kapolda NTT. 

Hal ini disampaikan Indonesia Police Watch (IPW) dalam keterangan tertulisnya diterima Opsi, Selasa, 31 Mei 2022.

"Kami mendesak terhadap anggota yang melakukan penyalahgunaan wewenang dan terbukti melanggar HAM harus diproses melalui sidang etik dan hukum pidana," kata Ketua IPW Sugeng Tegih Santoso. 

Sehingga marwah institusi Polri sebagai pemelihara kamtibmas, pelindung dan pengayom masyarakat tetap terjaga sebagai abdi utama bagi nusa bangsa (Rastra Sewakottama). 

Pembangunan waduk Wadas di Purworejo dan Waduk Lambo Mbay di Nagekeo sama-sama merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN).

Dalam pelaksanaannya terjadi pro dan kontra. Bedanya, kalau di Wadas kepemilikan tanahnya merupakan orang per orang. 

Sedangkan di Waduk Lambo Mbay ini tanah yang akan dibangun merupakan tanah ulayat milik masyarakat adat Suku Rendu. 

Baca juga:

Polda Jateng Periksa Enam Polisi Terkait Konflik Desa Wadas

Sugeng berujar, pihak kepolisian yang seharusnya menjembatani agar tidak terjadi konflik sosial dan garda terdepan memberikan solusi bagi masyarakat yang mendukung dan menolak pembangunan. 

"Namun yang terjadi, aparat memaksakan kehendaknya sehingga yang timbul adalah konflik horizontal di masyarakat," ujar dia.

Pada Waduk Lambo Mbay, Kapolres setempat terlihat memaksakan diadakan ritual adat di titik nol.

Warga Rendu memblokir jalan untuk menghadang kedatangan Tim Survei dan Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusra II yang hendak melakukan observasi lapangan di lokasi pembangunan Waduk Lambo pada Senin, 23 Agustus 2021 di Desa Rendu Butowe. (Foto: Aman)

Tapi dilakukan oleh suku Kawa yang merupakan suku di luar Rendu, yang tidak mempunyai sangkut paut dengan tanah proyek Waduk yang akan dibangun. 

Waktunya pun telah ditentukan, yakni 24 Maret 2022, kendati ditolak oleh suku Rendu karena yang melaksanakan ritual bukan suku Rendu. 

Saat berlangsungnya acara, masyarakat adat Rendu menghadang suku Kawa dan terjadi perang mulut, saling dorong, dan nyaris berkelahi di hadapan Kapolres Nagekeo. Namun, situasi tegang itu bisa diantisipasi aparat keamanan. 

Penghadangan kedua, terjadi pada 4 April 2022 saat Kapolres Nagekeo bersikukuh untuk memulai pembangunan waduk yang diawali dengan apel siaga dan juga acara ritual adat.

Penghadangan oleh suku Rendu dilakukan di pintu masuk proyek Waduk. 

Saat dilakukan penghadangan, Matheus Bui yang memimpin ritual dengan parang pusaka adat (topo) yang diacungkan, tiba-tiba aparat polisi menyerbu dan menangkap para penghadang.

Sebanyak 23 orang ditangkap dan dibawa ke Polres Nagekeo untuk menjalani pemeriksaan.

Ketika ditangkap, mereka mengalami kekerasan fisik berupa pemukulan dan ditendang.

Bahkan, penangkapan terhadap masyarakat yang menolak pembangunan Waduk Lambo Mbay dilakukan aparat di rumah warga, saat mereka sedang makan dan tidur. 

Penyiksaan kepada 23 warga itu berlanjut setelah mereka berada di Mapolres Nagekeo. Pada hari itu, mereka dijemur diterik matahari tiga kali. 

Pertama selama satu jam, kemudian yang kedua satu setengah jam dan yang ketiga ketika Kapolres datang menemui mereka.

Selain itu Kepolisian membiarkan oknum wartawan melakukan kekerasan dengan memukul kepala salah satu tokoh masyarakat adat. 

Sugeng menilai perlakuan aparat dan Kapolres Nagekeo tersebut tidak mencerminkan adanya Reformasi Polri yang telah dicanangkan melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menjunjung hak asasi manusia (HAM).

Dan turunannya, Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. 

"Menjadi tugas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menegakkan aturan terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum. Tentunya, dengan mencopot Kapolres Nagekeo dan Kapolda Nusa Tenggara Timur," tukasnya. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya