Medan - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir beberapa waktu lalu mengatakan Era Society 5.0 sudah di depan mata. Ada tantangan sekaligus peluang yang akan terjadi di negeri ini.
Tantangan yang dimaksud, antara lain hilangnya sejumlah pekerjaan, seperti tenaga penyiapan makanan, tenaga administrasi kantor, tenaga jasa transportasi, tenaga produksi manufaktur non auto, tenaga kerja di bidang jasa konstruksi dan tenaga kerja di traditional farming.
Namun di sisi lain Era Society 5.0 juga membuka lapangan kerja baru, seperti Data Scientist & Analist, Artificial Intelligence Expert, Software & Game Developer, Analis Big Data, Blockchain Developer, Market Research, Biotechnology dan Digital Content.
Lantas bagaimana nasib Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia dengan adanya Era Society 5.0 ini.
Dosen Administrasi Niaga Universitas Sumatra Utara (USU) sekaligus pengamat UMKM, Lagut Sutandra mengatakan secara umum dampak negatif dari Era Society 5.0 adalah infrastruktur dan kemampuan SDM yang dimiliki UMKM jauh tertinggal. Sehingga UMKM tidak bisa memanfaatkan keuntungan yang besar dari munculnya Era Society 5.0.
Untuk itu, sangat diperlukan peran pemerintah untuk memprogramkan dan menyusun strategi yang tepat dalam mempercepat kemampuan UMKM menghadapi Era Society 5.0.
"Sedangkan dampak positifnya, produk UMKM yang unggul dan berdaya saing, tetapi selama ini tidak muncul di permukaan dikarenakan akses yang terbatas. Dengan adanya Era Society 5.0, maka hal itu akan bermunculan ke permukaan hingga tingkat nasional maupun internasional, seperti pengrajinnya siapa, konsumen akhir dapat berhubungan bisnis langsung dengan UMKM, dan lain-lain," kata Lagut, Kamis, 2 Juni 2022.
Termasuk sisi positifnya lagi, tambah Dosen FISIP USU ini, cost atau biaya usaha UMKM dari mulai produksi hingga pemasaran akan semakin berkurang, karena kemudahan-kemudahan dalam menjangkau mitra bisnisnya, sehingga harga produk UMKM akan semakin bersaing.
Di sisi lain, selama ini keuntungan bisnis produk UMKM dinikmati oleh pedagang perantara, dikarenakan UMKM tidak memiliki akses untuk ke semua lini usahanya, dengan adanya Era Society 5.0 hal ini akan positif dampaknya.
Lagut menguraikan, digitalisasi jadi harga mati bagi UMKM pada Era Society 5.0, yaitu untuk mempertahankan produk usahanya bahkan mengembangkan usahanya menjadi usaha yang mendunia dan dapat dikelola secara profesional dengan cost yang minimal.
Jadi risikonya, jika UMKM tidak melakukan digitalisasi usahanya di Era Society 5.0, maka hal ini akan sangat merugikan UMKM itu sendiri dan potensi produk unggulan Indonesia tidak akan pernah muncul mendunia.
"Risiko lainnya yang didapat jika UMKM tidak melakukan digitalisasi, maka usaha UMKM akan dijalankan dengan tidak tahu arah atau ibarat orang yang berjalan di tengah hutan belantara tanpa kompas, di mana UMKM dan pemerintah akan cenderung saling tidak bisa bersinergi untuk pengembangan UMKM ke depannya," ujar pria yang juga aktif di Pusat Inkubator Bisnis CIKAL USU ini.
Untuk mendukung hal tersebut, lanjutnya, pemerintah daerah hingga nasional sangat perlu untuk mendorong pelaku UMKM menerapkan digitalisasi usahanya, bahkan pemerintah tidak hanya sebagai pendorong.
Namun bisa sampai membentuk badan usaha miliki daerah (BUMD) yang khusus dalam pengembangan digitalisasi usaha UMKM. Karena karakternya bisnis, maka dapat dikelola secara komersial atau menjadi badan usaha komersial, seperti pemerintah mengelola jalan tol, mengelola perusahaan listrik, usaha perkebunan.
"Jadi sudah saatnya pemerintah tidak saja berperan sebagai pendorong dalam hal digitalisasi UMKM, namun sudah saatnya pemerintah daerah mengarahkan APBD/APBN dalam bentuk penyertaan modal dalam bentuk perusahaan digitalisasi usaha UMKM," imbuhnya.[]