Pilihan Selasa, 04 Juli 2023 | 14:07

Geopolitik Iklim dan Kompleksitas Transisi Energi

Lihat Foto Geopolitik Iklim dan Kompleksitas Transisi Energi Komisaris PT PLN (Persero), Eko Sulistyo. (Foto:Istimewa)

*Oleh: Eko Sulistyo, Komisaris PT PLN (Persero)

Sistem perdagangan internasional kini dilanda kecemasan akan keamanan rantai pasokan mineral kritis yang menyentuh geopolitik. Berbagai forum ekonomi global, pertemuan multilateral, dan terakhir dalam Komunike G7 di Hiroshima, Jepang, pertengahan Mei 2023 lalu, kelompok tujuh negara ekonomi maju dunia menyoroti ancaman dan risiko gangguan rantai pasokan mineral kritis akibat monopoli dan kurangnya diversifikasi pemasok. Namun, G7 juga mengakui semakin pentingnya mineral kritis untuk ekonomi “net zero” dan memenuhi ambisi iklim global.

Mineral kritis adalah mineral non-bahan bakar yang penting bagi ekonomi dan keamanan nasional suatu negara, tetapi rentan terhadap gangguan rantai pasokan. Ini termasuk litium, nikel, kobalt, grafit, tembaga, unsur tanah jarang, dan logam golongan platina. Mineral ini sangat penting untuk teknologi energi bersih dalam transisi energi, seperti turbin angin, panel photovoltaik (PV) surya, baterai penyimpanan, dan kendaraan listrik (EV).

Oleh karena itu, ketersediaannya memainkan peran penting dalam transisi energi berkelanjutan. Namun kesenjangan pasokan permintaan mineral kritis semakin melebar. Badan Energi Internasional (IEA, 2021), The Role of Critical Minerals in Clean Energy Transitions, meramalkan dengan peningkatan penerapan teknologi energi bersih, permintaan keseluruhan untuk mineral kritis dapat melonjak hingga enam kali lipat pada 2040, dengan permintaan litium, grafit, kobalt, dan nikel meningkat antara 24-50 kali lipat.

Prakiraan itu juga menunjukkan bahwa produksi tahunan mineral kritis akan meningkat 5-6 kali lipat, tumbuh hingga lebih dari US $ 250 miliar pada 2040, melebihi nilai produksi tahunan batu bara, yang secara bertahap akan dihapus. Kenaikan harga kobalt dan litium, masing-masing sebesar 3 kali lipat dan 12 kali lipat antara 2020-2022, adalah bukti ketidakseimbangan pasar ini.

Lonjakan permintaan dan ancaman gangguan rantai pasokan mineral ini turut menyulut kompleksitas transisi energi. Transisi energi tidak sekedar platform global untuk beralih dari energi berbasis bahan bakar fosil ke energi terbarukan seperti energi angin, matahari dan panas bumi. Transisi energi juga membutuhkan mineral penting yang mengubah dunia dengan cepat, beralih dari sistem intensif bahan bakar ke sistem intensif mineral.

Risiko Geopolitik

Rantai pasokan mineral kritis tidak hanya menghadirkan kompleksitas transisi energi, tetapi juga risiko baru karena produksinya terkonsentrasi secara geografis di bagian dunia tertentu. Konsentrasi ini memunculkan monopoli rantai pasokan yang bisa menimbulkan tabrakan geopolitik dan ketidakpastian pasar. Untuk itu, tantangan untuk memperoleh pasokan yang memadai adalah hambatan utama untuk ambisi iklim global dan keamanan internasional.

Kebangkitan global China sebagai raksasa teknologi bersih dan rantai pasokan mineral kritis, menjadi sumber yang mendasari ketegangan persaingan-konsentrasi. Inovasi dan produksi industri tidak lagi menjadi bidang eksklusif ekonomi Amerika Serikat (AS), negara Uni Eropa (UE) dan Jepang. Kini kekuatan-kekuatan besar ini telah digantikan dengan ambisi ekspor China dan kontrolnya atas rantai pasokan utama, telah mengubah permainan.

Menurut laporan terbaru IEA (2023), Energy Technology Perspectives 2023, bersama Republik Demokratik Kongo, China bertanggung jawab atas sekitar 70% dan 60 persen produksi global kobalt dan tanah jarang. Indonesia 40 persen nikel, Australia menyumbang 55 persen dan Chili 25persen untuk penambangan litium. Bahkan tingkat konsentrasi China lebih tinggi untuk pemrosesan mineral ini, dan memiliki kehadiran lebih kuat di beberapa negara melalui Belt and Road Initiative (BRI).

China bisa disebut negara paling penting dalam mengendalikan rantai nilai mineral kritis, dari penambangan hingga pemrosesan dan manufaktur, yang membentuk kembali geopolitik. Kontrol China atas rantai pasokan ini meningkatkan risiko yang dapat timbul dari gangguan fisik, pembatasan perdagangan, atau perkembangan geopolitik lainnya di produsen utama, yang dengan cepat dapat mempengaruhi pasokan global.

Perkembangan ini telah meningkatkan tekanan bagi negara ekonomi besar lainnya yang bergantung pada impor untuk mengamankan pasokan mineral mereka. China, misalnya, pernah melarang ekspor tanah jarangnya ke Jepang menyusul insiden kapal pukat di dekat Kepulauan Senkaku Jepang pada 2010, yang diklaim sebagai miliknya. China juga pernah “mempersenjatai” mineralnya untuk melarang ekspor bahan semikonduktor dalam sengketa perdagangannya dengan AS pada 2019.

Kemitraan dan Diversifikasi

Keamanan rantai pasokan mineral kritis merupakan isu strategis global, mengingat permintaan eksponensial yang didorong oleh penerapan teknologi energi bersih di seluruh dunia. Namun penerapannya menimbulkan persaingan geoekonomi dan geopolitik yang dipicu sektor manufaktur China yang kompetitif. Beberapa negara telah memperluas strateginya mengatasi tantangan ini, dengan melakukan diversifikasi dan kemitraan internasional yang efektif untuk mengurangi risiko pada rantai pasokan.

Pada Juni 2022, AS dan mitra G7 meluncurkan Partnership for Global Infrastructure and Investment serta menandatangani Minerals Security Partnership untuk memproduksi, memproses, dan mendaur ulang mineral penting. Di Davos, Januari 2023, Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mengumumkan strategi industri baru UE yaitu kemitraan global untuk mengakses input untuk industri, seperti European Battery Alliance dan Critical Raw Materials Acts, yang keduanya bertujuan untuk mengamankan rantai pasokan mineral.

Menurut studi terbaru tentang masalah ini dari The Net Zero Industrial Policy Lab at Johns Hopkins University (2023), kemitraan diantara negara-negara ini mampu menghasilkan mineral yang cukup bagi dunia membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat celcius, target yang lebih ambisius dari Perjanjian Paris. Namun memproduksi mineral yang cukup untuk memenuhi target ini membutuhkan kerja sama teknologi dan keuangan yang besar.

Tidak ada kebijakan yang lebih ambisius dalam merespons keamanan mineral kritis dari Undang Undang Pengurangan Inflasi (IRA) yang dikeluarkan AS pada Agustus 2022. IRA tidak hanya mencakup insentif pajak untuk memproduksi mineral kritis di dalam negeri atau di negara-negara yang terkait dengan AS melalui perjanjian perdagangan bebas, tetapi eksplisit untuk mengamankan sumber daya luar negeri, dari ketergantungan pada China. IRA juga membuka peluang diversifikasi mineral yang belum dimaksimalkan di wilayah Amerika Latin dan Amerika Selatan.

Secara bilateral beberapa negara juga telah melakukan kerja sama di bidang pengolahan mineral kritis. Misalnya Kementerian Investasi Inggris dan Kementerian Investasi Indonesia telah menandatangani MoU kerja sama investasi dengan prioritas di sektor mineral kritis, transisi energi, dan ilmu hayati. Sebagai penghasil nikel terbesar di dunia, dan beberapa mineral penting lainnya, keberhasilan hilirisasi nikel Indonesia layak dijadikan tujuan investasi untuk industri baterai listrik dan EV.

Kini di tengah upaya global untuk mendekarbonisasi dan perlombaan supremasi teknologi energi bersih, negara-negara perlu menciptakan strategi pengamanan rantai pasokan mineral kritisnya yang tangguh, berbasis aturan dan pasar, serta menentang tindakan distorsi pasar dan kebijakan monopolistik. Karena pada akhirnya, transisi energi juga tentang risiko geopolitik, lingkungan, dan konflik sosial, yang menjadi “trade-off” produksi bersih yang bebas fosil dalam operasi industrinya.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya