Jakarta - Persoalan penolakan pendirian rumah ibadah, secara khusus gereja di Kota Cilegon, Banten, mendapat respons dari sejumlah tokoh pemuda di Tanah Air.
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Sunanto ketika berbicara dalam dialog Opsi Media TV bertajuk `Quo Vadis Toleransi Beragama? Pandangan Pemuda Lintas Agama` pada Senin, 19 September 2022, mengaku riskan ada kepala daerah ikut menolak dan menandatangani penolakan pendirian pembangunan rumah ibadah.
"Aku agak riskan kalau ada pemerintah daerah, bukan malah menjembatani rakyatnya untuk melakukan ibadah, itu kan pelanggaran terbesar dalam konstitusi," kata pria yang karib disapa Cak Nanto tersebut.
Padahal kata dia, seharusnya kepala daerah mendorong pendirian rumah ibadah, selain karena memang aturan untuk itu juga sudah jelas.
Kemudian kata dia, seorang kepala daerah dipilih dan ketika dia terpilih maka semua adalah rakyatnya. Tidak lagi soal politik identitas, politik golongan, dan politik kelompok.
"Kami berharap dia berdiri di atas semua golongan," katanya.
Disinggung adanya upaya-upaya kelompok tertentu yang memang berkepentingan menciptakan situasi disharmoni terkait penolakan rumah ibadah, Cak Nanto menegaskan bahwa tidak ada agama mengajarkan yang tidak baik. Tetapi harus diakui umat banyak yang berbeda-beda.
"Menurut aku ya tinggal bagaimana, apakah kita kalah dengan sebagian kecil orang yang mau disharmonisasi terhadap kehidupan bernegara ini. Problemnya apakah kita mau bersatu, orang-orang yang memiliki kesadaran kebaikan toleransi, mau gak melakukan upaya-upaya itu. Di ajaran kami, kalau kebaikan tidak diorganisir pasti akan kalah dengan keburukan yang terorganisir," katanya.
Baca juga:
Polemik Gereja Cilegon, Menag: Kita akan Diskusikan Solusinya dengan Wali Kota dan Tokoh Masyarakat
Cak Nanto menyebut, tinggal bagaimana cara untuk terus melakukan penyadaran. Tugas dan fungsi semua pihak untuk terus melakukan penyadaran, termasuk bagaimana kebijakan-kebijakan pembangunan rumah ibadah itu.
"Saya kira kompleksitasnya tidak hanya gereja, antar umat Islam saja banyak bermasalah padahal sudah satu agama, apalagi beda agama. Itu problematik terus menerus karena bisa jadi tingkat pendidikan, dan identitas ideologi masa lalu yang terus dibawa dalam proses pembangunan," katanya.
Selain itu menurutnya, tidak bisa juga dinafikan tentang kekhawatiran, misalnya perilaku agama yang eksklusif.
"Jadi memang harus dibangun bahwa oke negara memang memfasilitasi. Tapi juga harus memberikan kriteria, apakah rumah ibadah itu sudah bagian dari kemasyarakatan itu. Jadi jangan sampe pembangunan rumah ibadah malah keluar dari rasa kemanusiaannya," tukasnya.
Terkait masalah di Cilegon, Cak Nanto justru mempertanyakan kebertuhanan pihak-pihak yang melakukan aksi penolakan.
"Jangan-jangan kita tidak bertuhan atau jangan-jangan kita berlebihan menafsirkan tuhan kita," katanya.
Padahal menurutnya, mereka (umat yang mengusulkan pendirian rumah ibadah,red) memiliki keyakinan.
"Maka tugas dan fungsi kita saat ini adalah semua orang kalau prinsip saya, hidayah. Keyakinan itu bukan punya kita. Tugas kita adalah menyampaikan kebaikan yang kita bawa," katanya.
Cak Nanto mengakui, tak jarang faktor elektoral menjadi sangat penting dalam benak kepala daerah seperti yang terjadi di Kota Cilegon.
"Tarikan-tarikan elektoral itu kadang-kadang dibawa ke dasar ideologi. Padahal dasar ideologi memberikan kesempatan atau ruang kepada kita untuk melakukan ibadah," jelasnya.
Tindakan kepala daerah yang justru menolak pendirian rumah ibadah menurut Cak Nanto, tidak lagi seorang negarawan.
Pemimpin yang tidak bisa mengayomi rakyatnya, dan pemimpin begitu kata dia, hanya memikirkan kelompoknya semata.
"Kalau saya meyakini, kalau ada kebijakan tegas dan peduli saya kira tidak ada persoalan rakyat beribadah terhalangi oleh karena penolakan dari sebagian kecil orang," tandasnya. []