Jakarta - Greenpeace Indonesia merespons peristiwa banjir besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Melihat besarnya skala dampak yang terjadi hingga saat ini, Greenpeace mendukung desakan sejumlah pihak agar pemerintah segera menetapkan peristiwa di Pulau Sumatera sebagai status darurat bencana nasional.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas dalam siaran persnya, Selasa, 2 Desember 2025 mengatakan, peristiwa banjir besar yang melanda Sumatera ini seharusnya menjadi pengingat terakhir bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membenahi kebijakan pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta komitmen iklim secara total.
Menurut dia, banjir besar tersebut menandakan dua hal, yakni dampak krisis iklim yang tak bisa lagi dihindari dan perusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi menahun.
Dampak krisis iklim terlihat dari cuaca yang kian ekstrem, termasuk hujan lebat yang diperparah dengan terjadinya siklon tropis Senyar pada 25-27 November 2025 di Selat Malaka.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut, lewatnya siklon tropis Senyar di Selat Malaka, bahkan hingga ke daratan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat ini bukan fenomena umum mengingat posisi Indonesia di dekat garis ekuator.
Arie Rompas mengingatkan, hujan ekstrem akan terus mengintai sebagai dampak dari krisis iklim.
Sebagai negara kepulauan yang rawan terhadap bencana, dampak krisis iklim bukan hanya angka, tapi juga mengancam nyawa.
"Harus ada tindakan dan target iklim yang ambisius. Pemerintah tak bisa lagi mengandalkan upaya mitigasi dan adaptasi yang hanya terpampang di atas kertas, dan tidak boleh ada lagi solusi palsu dalam kebijakan iklim nasional," kata dia.
Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik menambahkan, saat ini waktu yang tepat untuk memperbaiki arah kebijakan nasional agar tidak lagi berpihak pada segelintir orang, tapi kelayakan bagi semua orang.
Faktor kedua yang memicu besarnya dampak banjir Sumatera, yakni perusakan hutan dan alih fungsi lahan, termasuk di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS).
Analisis Greenpeace dengan merujuk data Kementerian Kehutanan menemukan, dalam kurun 1990-2024, banyak hutan alam di Sumatera Utara beralih fungsi menjadi perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman. Situasi serupa terjadi di Aceh dan Sumatera Barat.
Peneliti senior Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi, mengungkap, mayoritas DAS di Pulau Sumatera telah kritis, dengan tutupan hutan alam kini kurang dari 25 persen.
"Sedangkan secara keseluruhan kini tinggal 10-14 juta hektare hutan alam atau kurang dari 30 persen luas Pulau Sumatera yang 47 juta hektare,” jelasnya.
Salah satu DAS yang rusak parah imbuh dia, ialah DAS Batang Toru yang meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah.
Salah satu bentang hutan tropis terakhir di Sumatera Utara ini juga dibebani berbagai macam perizinan untuk industri rakus lahan, termasuk PLTA Batang Toru, yang lantas membabat hutan, juga menggusur habitat orangutan Tapanuli. []