Jakarta - Wacana pengajuan hak angket ke DPR RI dipastikan berpotensi menimbulkan protes dari rakyat, khususnya kalangan yang pro terhadap hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menilai mengatakan bahwa hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) merepresentasikan 83,6 persen rakyat yang puas terhadap penyelenggaraan pemilu.
Sementara sebanyak 76,4 persen menyatakan pemilu telah berlangsung jujur dan adil (jurdil).
"Artinya, kalangan rakyat yang dijadikan representasi hak angket hanya sebagian kecil saja. Meskipun partai-partai pengusul jumlah kursinya di DPR lebih besar," kata Alwi seperti mengutip keterangan resminya, Selasa, 27 Februari 2024.
Jika hak angket hanya akan merepresentasikan sebagian kecil rakyat yang ada pada posisi kontra hasil pemilu, sambungnya, maka dikhawatirkan akan timbul gelombang protes yang lebih besar dari kalangan rakyat yang pro.
"Jangan sampai rakyat dikorbankan demi hasrat elite politik yang haus kekuasaan," ujarnya.
Selain itu, ia berpendapat bahwa hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pemilu oleh DPR juga dinilai tidak tepat jika ditujukan hanya untuk menyelidiki dugaan kecurangan pilpres tanpa menyertakan pileg.
"Bilamana hak angket dilakukan secara parsial, pilpres saja misalnya, maka motifnya semakin patut untuk kita pertanyakan," tuturnya.
Lebih lanjut, dia berpandangan bahwa pileg memiliki potensi kecurangan yang lebih besar ketimbang pemilu pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Sebab, kata dia, proses penghitungan suara pileg biasanya dilakukan pada malam hingga dini hari setelah proses penghitungan suara pilpres.
Berdasarkan tahapan penghitungan suara, telah diatur dalam Pasal 52 Ayat 2 Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023 yang mengatur urutan proses penghitungan suara dilakukan secara berurutan mulai dari surat suara pilpres, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota.
"Pada siang hingga sore hari ketika penghitungan suara pilpres dilakukan, masih banyak masyarakat yang ikut mengawasi, menyaksikan dan mendokumentasikan selain para saksi masing-masing calon, pengawas pemilu, aparat bahkan wartawan," ucapnya.
Penilaiannya, pada malam hingga dini hari saat penghitungan suara pileg dilakukan, TPS cenderung semakin sepi dan konsentrasi para pihak mulai menurun karena mengantuk dan kelelahan.
Akibatnya, kata Alwi, hal tersebut membuka celah yang lebih besar untuk terjadinya praktik kecurangan pemilu.
"Terlebih bila ada partai yang kekurangan saksi kemungkinan besar juga menjadi sasaran untuk dicurangi," katanya
Dia menegaskan, salah satu bentuk kecurangan pileg yang sering terjadi adalah pencurian atau jual beli suara, baik antar calon legislatif (caleg) maupun antar partai.
Oleh sebab itu, dia mengaku tidak mengherankan bila di satu sisi ada pemberitaan mengenai caleg kehilangan perolehan suara, dan di sisi lain ada caleg lainnya yang secara mengejutkan mendapat perolehan suara yang fantastis.
"Apalagi dengan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen, perolehan suara caleg partai kecil rawan diperjualbelikan," ujarnya.
Lebih lanjut, dia menyarankan jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, bisa melapor ke Bawaslu, Gakumdu, DKPP, dan Mahkamah Konstitusi. Dugaan kecurangan pemilu harus dibawa ke ranah hukum, bukan ditarik ke ranah politik.
Jika dipaksakan untuk ditarik ke ranah politik melalui hak angket di DPR, sambung Alwi, pelaksanaannya harus dijalankan dalam kerangka representasi rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 69 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).[]