News Sabtu, 26 Februari 2022 | 11:02

Hamdan Zoelva: Penundaan Pemilu Merampas Hak Rakyat

Lihat Foto Hamdan Zoelva: Penundaan Pemilu Merampas Hak Rakyat Ketua MK 2013-2015 Hamdan Zoelva. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Ketua Mahkamah Konstitusi 2013-2015 Hamdan Zoelva menegaskan bahwa penundaan Pemilu 2024 merampas hak rakyat.

Hamdan mengatakan, Pasal 22E UUD 1945 menyebut pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Kalau ditunda, harus mengubah ketentuan tersebut, berdasarkan mekanisme Pasal 37 UUD 1945. Dari segi alasan tidak ada alasan moral, etik, dan demokrasi menunda pemilu.

"Bahkan dapat dikatakan merampas hak rakyat memilih pemimpinnya lima tahun sekali," katanya dilihat di Twitter, Sabtu, 26 Februari 2022.

"Tapi kalau dipaksakan dan kekuatan mayoritas MPR setuju, siapa yang dapat menghambat. Putusan MPR formal sah dan konstitusional. Soal legitimasi rakyat urusan lain," sambungnya.

Namun menurut dia, masalah selanjutnya jika pemilu ditunda untuk 1-2 tahun, siapa yang jadi presiden, anggota kabinet atau menteri, dan anggota DPR, DPD dan DPRD seluruh Indonesia, karena masa jabatan mereka semua berakhir pada September 2024.

 Baca saja: Gerindra Tunggu Prabowo Subianto Deklarasi Jadi Capres 2024

UUD 1945 tidak mengenal pejabat presiden. Hanya menurut Pasal 8 UUD 1945 jika presiden dan wapres, mangkat, berhenti,  diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan,  pelaksana tugas kepresidenan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan.

"Tetapi itu pun tetap jadi problem, karena jabatan Mendagri, Menlu dan Menhan berakhir dengan berhenti atau berakhirnya masa jabatan presiden dan wapres yang mengangkat mereka, kecuali MPR menetapkannya lebih dahulu sebagai pelaksana tugas kepresidenan," urai eks politisi Partai Bulang Bintang itu.

Disebutnya, berdasarkan Pasal 8 UUD 1945 MPR dapat saja mengangkat presiden dan wapres menggantikan presiden dan wapres yang berhenti atau diberhentikan, sampai terpilihnya presiden dan wapres hasil pemilu.

MPR memilih dan menetapkan salah satu dari dua pasangan calon presiden dan wapres yang diusulkan  parpol atau gabungan parpol yang pasangan capresnya memperoleh  suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu.

Dalam kondisi seperti ini kata Hamdan, siapa saja dapat diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol menjadi pasangan calon presiden dan wapres, tidak harus presiden yang sedang menjabat.

"Tetapi masalahnya tidak berhenti di situ, siapa yang memperpanjang masa jabatan anggota MPR (DPR-DPD)dan DPRD? Padahal semuanya harus berakhir pada 2024, karena mereka mendapat mandat terpilih melalui pemilu," tukasnya.

Untuk keperluan tersebut menurutnya, ketentuan UUD mengenai anggota MPR pun harus diubah, yaitu anggota MPR tanpa melalui pemilu dan dapat diperpanjang.

Baca juga: Usulan Pengunduran Pemilu 2024 Klise dan Sarat Kepentingan Politik

"Lalu, siapa yang perpanjang, juga jadi persoalan. Jika dipaksakan dapat dilakukan oleh presiden atas usul KPU. Tetapi sekali lagi UUD terkait anggota MPR harus diubah dulu," tandasnya.

Maka untuk memuluskan skenario penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan, hamdan menegaskan, harus ada Sidang MPR  mengubah UUD, Sidang Istimewa MPR memberhentikan presiden dan wapres dan mengangkat presiden dan wapres sebelum masa jabatan mereka berakhir.

Problem lain, muncul karena banyak DPRD se-Indonesia yang sudah berakhir masa jabatannya pada Juli-Agustus - September 2024, berarti semua agenda skenario harus selesai pada Agustus- September 2024. 

"Tetapi pertanyaannya kembali, apa mungkin presiden diangkat kembali sebelum mereka berhenti secara bersamaan? Karena MPR hanya berwenang mengangkat presiden dan wapres jika presiden dan wapres secara bersamaan berhenti. Maka jalan keluarnya, berhentikan dulu presiden dan wapres sebelum masa jabatannya berakhir," katanya.

Baca juga: PDIP Tolak Penundaan Pemilu 2024, Hasto Ungkap Alasan

Merujuk ketentuan UUD 1945 sambung hamdan, tidak ada dasarnya MPR begitu saja memberhentikan presiden dan wapres tanpa alasan. Kecuali mereka berhenti bersamaan karena mengundurkan diri, berhenti atau diberhentikan karena melakukan pelanggaran hukum menurut Pasal 7B UUD 1945.

"Jadi persoalan begitu sangat rumit, maka jangan pikirkan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan itu. Karena hanya cari-cari masalah yang menguras energi bangsa yang tidak perlu. Jalankan yang normal saja, negara aman-aman saja. Lagi pula, skenario penundaan pemula merampas hak rakyat menentukan pemimpinnya setiap lima tahun sekali," tukasnya. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya