Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR menyoroti pemeriksaan sebanyak 28 anggota kepolisian atas tragedi di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022.
Pemeriksaan terhadap 28 personel Polri yang terlibat di dalam tragedi Kanjuruhan diarahkan sebagai pemeriksaan kode etik.
"Kami menegaskan bahwa tragedi ini bukanlah bentuk pelanggaran etik, melainkan sudah memasuki ranah pidana, jatuhnya korban jiwa terjadi karena penggunaan kekuatan yang berlebihan, yang mana penggunaan kekuatan berlebihan tersebut dapat terprediksi dampak fatalnya ketika dilakukan di ruang dengan keterbatasan akses keluar seperti stadion. Sangat penting bagi Polri untuk dapat memeriksa kasus ini dengan imparsial dan akuntabel, walaupun aktor-aktor yang terlibat adalah bagian dari kesatuan sendiri," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus AT Napitupulu dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 4 Oktober 2022.
Dia mengatakan, penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of power) yang tidak proporsional dan menyebabkan kematian, sudah seharusnya diusut menggunakan jalur pidana.
Bahkan, Polri sendiri telah mengakui mulainya pemeriksaan pelanggaran ketentuan Pasal 359 dan 360 KUHP, yang menyebabkan kematian karena kealpaan.
"Pasal-pasal ini tentunya dapat digunakan, selain dengan Pasal 338 KUHP berkaitan dengan pembunuhan," tegas Erasmus.
Baca juga:
Buntut Tragedi Kanjuruhan, Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat Dicopot
Buruknya kontrol konflik massa yang dilakukan Polri sebagai penanggung jawab pengamanan di dalam stadion ketika peristiwa berlangsung, menyebabkan orang-orang menuju pintu keluar pada waktu yang sama dan menimbulkan kepadatan.
Dalam beberapa video yang beredar, terlihat adanya penggunaan gas air mata, walaupun standar pengamanan di lapangan sepak bola milik FIFA yang melarangnya.
Gas air mata tersebut juga diarahkan kepada tribun penonton bahkan bukan pihak yang menimbulkan kerusuhan sama sekali.
Kematian pun terjadi karena banyak orang terinjak-injak dan mengalami sesak napas pada saat keluar stadion karena menghindari gas air mata yang terus diberikan aparat.
Bahkan, sempat beredar video yang menunjukkan supporter memohon pihak pengamanan untuk tidak melemparkan gas air mata kepada penonton.
Dari kronologi tersebut kata Erasmus, dapat dilihat kausalitas dari kematian para penonton tersebut, dan ini bukanlah permasalahan kode etik, melainkan sudah menjadi perbuatan pidana.
Kausalitas antara perbuatan dan selama ini, meskipun penggunaan kekuatan telah diatur di dalam regulasi internal Polri melalui Perkap Nomor 1 Tahun 2009, namun penggunaan kekuatan yang berlebihan tidak pernah diperiksa dan dipertanggungjawabkan oleh pihak kepolisian secara tegas.
"Peristiwa ini harus menjadi titik balik kepolisian untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena tidak seluruh kesalahan yang dilakukan personil adalah pelanggaran kode etik," katanya.
ICJR kata Erasmus, mendorong kepolisian untuk secara tegas mengusut anggotanya yang telah melakukan pelanggaran pidana dan mempertanggungjawabkannya sesuai dengan jalurnya dan bukan hanya melalui jalur pemeriksaan etik. []