Jakarta - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menekankan agar pada rumusan pasal pemaksaan perkawinan dalam RUU TPKS memuat unsur ketiadaan persetujuan (consent) korban dalam perkawinan secara spesifik.
"Perlu ditekankan pula pada rumusan pasal pemaksaan perkawinan harus memuat unsur yang jelas dan ketat soal ketiadaan persetujuan dalam perkawinan yang spesifik, seperti ketidakberdayaan korban," kata Maidina dalam keterangannya, Senin, 4 April 2022.
Menurutnya, penting bagi para penyusun undang-undang untuk memasukkan unsur ketidakcakapan korban untuk memahami dampak dari terikat dalam suatu perkawinan.
"Perkawinan yang tidak diketahui oleh korban, perkawinan yang dilakukan berdasarkan tipu daya, penjeratan utang, serta ancaman kekerasan terhadap diri atau keluarga. Ini yang perlu ditekankan," tuturnya.
Lebih lanjut, dia juga membahas mengenai permasalahan mendasar dalam penanganan kekerasan seksual, yaitu sulitnya ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana acara untuk dipenuhi oleh korban.
"Oleh karena itu, perlu langkah-langkah progresif untuk menghadirkan pembaruan hukum acara pidana," kata dia.
Upaya progresif itu, lanjutnya, memberdayakan korban namun tidak untuk menurunkan standar pembuktian dan jaminan hak atas peradilan yang adil.
Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Nomor 171, Pemerintah dan DPR menyepakati barang bukti untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana, dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat sebagai alat bukti.
Adapun argumen yang disampaikan oleh Pemerintah adalah di bawah negara tidak terdapat pemisahan antara alat bukti (AB) dan barang bukti (BB).
Akan tetapi, di negara tersebut terdapat fungsi hakim magistrat atau hakim pemeriksa pendahuluan yang menguji terlebih dahulu relevansi barang bukti tersebut untuk menentukan apakah dapat menggunakannya dalam perkara atau tidak.
"Fungsi itu belum kita miliki dalam konsep KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) saat ini, Jika RUU TPKS mau memperkenalkan hal ini, harus lebih dahulu ada pembaruan KUHAP," tuturnya.
Jika saat ini Pemerintah menerapkan pasal dalam DIM No. 171, akan berpotensi disalahgunakan dan melanggar prinsip KUHAP. Orang dapat dengan mudah dipidana dengan bukti yang minim.
"Agaknya tidak perlu memasukkan rumusan DIM No. 171, cukup pengaturan satu saksi diperbolehkan jika disertai dengan alat bukti lain. Namun, alat bukti lain dijamin menyertakan alat bukti visum psikiatrikum atau surat keterangan pemeriksaan psikologis korban," ucap Maidina.