*Opini: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Jakarta - Perbedaan nada antara Kemenko Perekonomian dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) soal insentif otomotif bukan sekadar silang pendapat antarkantor, melainkan sinyal bahwa negara sedang diuji konsistensinya sendiri: apakah ini momen koreksi kebijakan yang lebih matang atau pengakuan terlambat bahwa insentif mobil listrik sejak awal terlalu memanjakan segelintir pihak, sementara ongkosnya ditanggung banyak orang.
Ketika satu pihak menyebut industri sudah kuat sehingga insentif tak lagi perlu, sementara pihak lain mengingatkan risiko melemahnya rantai hulu hilir dan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), publik berhak bertanya: selama ini insentif dirancang untuk tujuan apa, siapa yang paling diuntungkan, dan siapa yang diam-diam membayar konsekuensinya melalui kemacetan, ketimpangan akses mobilitas, serta beban fiskal yang seharusnya bisa dialihkan ke layanan publik yang lebih merata.
Pertanyaan publik hari ini bukan sekadar siapa yang benar antara Kemenko Perekonomian dan Kemenperin.
Yang lebih penting: saat Menko Airlangga memberi sinyal insentif otomotif tidak perlu karena industri sudah kuat, sementara Kemenperin menilai insentif masih dibutuhkan demi menjaga rantai hulu hilir dan mencegah PHK, apakah itu langkah koreksi kebijakan atau justru pengakuan halus bahwa insentif sebelumnya tidak efektif?
Saya cenderung melihatnya sebagai alarm bahwa kebijakan insentif mobil listrik sejak awal terlalu sempit tujuannya. Ia dibingkai seolah solusi hijau, tetapi yang didorong terutama adalah penjualan kendaraan pribadi. Padahal kota besar sudah macet kronis.
Membuat mobil listrik lebih murah, tanpa peta jalan pengendalian kendaraan dan pembenahan transport publik, sama seperti memberi diskon payung saat masalahnya justru atap bocor. Hasil akhirnya mudah ditebak: jumlah kendaraan bertambah, ruang jalan tetap, kemacetan makin padat.
Dalam situasi ini, insentif menjadi kebijakan yang tampak modern di brosur, namun menambah beban di jalan raya.
Di sinilah saya ingin tegas: insentif mobil listrik dalam bentuk pemotongan pajak pembelian adalah insentif yang tidak adil.
Penerima manfaat utamanya adalah kelompok menengah perkotaan yang memang mampu membeli mobil. Sementara warga yang tidak membeli mobil tetap menanggung ongkos sosialnya: waktu hilang karena macet, kualitas udara menurun, dan logistik kota memburuk.
Ketika negara menalangi sebagian harga mobil, negara sedang memberi privilese konsumsi kepada kelompok tertentu, bukan memperbaiki mobilitas publik.
Lalu bagaimana menjawab pertanyaan pertama: koreksi atau sinyal gagal?
Bisa keduanya. Jika penghentian dilakukan tanpa narasi tujuan baru, pasar membaca: insentif kemarin sekadar cara cepat menaikkan angka penjualan, bukan strategi industri jangka panjang. Tetapi jika penghentian dibarengi desain pengganti yang lebih tepat sasaran, itu bisa menjadi koreksi yang sehat.
Pertanyaan kedua menyangkut investor asing dan risiko relokasi. Investor tidak hanya mengejar insentif, mereka mengejar kepastian arah.
Ketika satu kementerian mengatakan berhenti, yang lain mengatakan lanjut demi serapan tenaga kerja, investor melihat sinyal yang berpotensi berubah-ubah. Risiko relokasi bukan karena insentif dihentikan, melainkan karena kebijakan terlihat tanpa kompas yang konsisten.
Karena itu, alih-alih mempertahankan insentif pembelian, pemerintah seharusnya mengubah bentuk insentif menjadi berbasis kinerja dan berbatas waktu: insentif untuk investasi pabrik komponen, R&D, efisiensi energi, transfer teknologi, serta penyerapan tenaga kerja, bukan insentif untuk menambah unit kendaraan pribadi di kota yang sudah buntu.
Pertanyaan ketiga tentang dampak ke konsumsi dan manufaktur. Ya, penghentian insentif pembelian kemungkinan menahan permintaan jangka pendek.
Tetapi kita juga harus jujur: konsumsi kendaraan pribadi bukan selalu konsumsi yang meningkatkan produktivitas nasional, terutama jika tiap tambahan mobil justru menambah kemacetan dan menurunkan efisiensi kota.
Jika anggaran yang selama ini dipakai untuk “diskon pembelian” dialihkan ke elektrifikasi transport publik, insentif armada komersial, dan perbaikan integrasi antarmoda, dampaknya bisa lebih produktif dan lebih merata. Kebijakan yang bagus bukan yang membuat orang lebih mudah membeli mobil, melainkan yang membuat orang tidak perlu membeli mobil untuk bisa hidup layak dan bergerak cepat.
Pertanyaan keempat: apakah tepat mengalihkan anggaran ke proyek mobil nasional? Secara fiskal, ini berisiko menjadi proyek simbolik yang mahal. Yang kita butuhkan bukan merek nasional, melainkan kapabilitas nasional.
Fondasi industri seperti standar keselamatan, laboratorium uji, ekosistem baterai yang berkelanjutan, software, dan rantai pasok komponen jauh lebih penting daripada mengejar label “mobil nasional” yang sering berakhir dengan proteksi dan beban fiskal. Efisiensi fiskal harus mengutamakan manfaat publik per rupiah, bukan kebanggaan semu.
Pertanyaan kelima: siapa paling terdampak jika insentif dihentikan? Konsumen menengah perkotaan tentu paling cepat merasakan karena harga naik. Sebagian pelaku di hilir juga terdampak bila permintaan turun.
Namun yang sering dilupakan: kelompok terbesar adalah warga kota yang tidak pernah menikmati insentif, tetapi selama ini membayar ongkos macet dan polusi. Jika penghentian insentif diikuti penguatan transport publik dan pengendalian kendaraan, merekalah yang paling diuntungkan.
Ada satu argumen lagi yang tidak boleh ditutupi: listrik Indonesia masih didominasi energi fosil. Jadi klaim “subsidi hijau” untuk mobil listrik menjadi setengah hati jika sumber listriknya belum beranjak cukup jauh dari energi kotor.
Ditambah lagi, ekosistem charger belum benar-benar komprehensif dan merata, sehingga insentif pembelian sering lebih menyerupai pemenuhan keinginan produsen dan konsumen kota besar daripada pembangunan sistem transport rendah emisi yang menyeluruh.
Pelajaran dari China juga penting: ketika subsidi dikurangi, penjualan bisa melambat. Itu menunjukkan pasar EV sensitif terhadap insentif. Artinya, jika kita membangun adopsi EV terutama lewat subsidi pembelian, kita sedang membangun pasar yang rapuh, tergantung APBN, bukan pasar yang kuat karena daya saing teknologi dan sistem transport yang matang.
Kesimpulan saya sederhana: debat Kemenko dan Kemenperin seharusnya ditutup dengan satu keputusan berbasis kepentingan publik.
Hentikan insentif yang mendorong penambahan kendaraan pribadi. Ganti dengan insentif yang mengurangi kemacetan dan memperluas manfaat sosial: elektrifikasi transport publik dan armada komersial, dukungan investasi hulu-hilir berbasis kinerja, serta peta jalan pengendalian kendaraan di kota besar.
Kalau tidak, insentif mobil listrik hanya akan menjadi subsidi yang tidak adil: melayani produsen EV dan kelas menengah perkotaan, sambil membuat kota makin padat dan fiskal semakin terbebani. []