Jakarta,- Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) telah menjadi topik hangat dalam diskusi hukum di Indonesia karena membawa sejumlah perubahan fundamental dalam sistem peradilan pidana.
Direktur Eksekutif Integritas Studies Center (ISC) Hendrik A Sinaga, SH,MH menyatakan bahwa RUU KUHAP dipuji karena memperluas perlindungan terhadap tersangka dan terdakwa. Diantaranya adalah keharusan menghadirkan penasihat hukum sejak awal penyidikan, larangan penyiksaan, serta kewajiban merekam pemeriksaan sebagai bukti transparansi.
Namun ada peran baru hakim komisaris juga dinilai sebagai terobosan penting dalam RUU KUHAP ini. Dengan kewenangan mengawasi penyidikan, memberi izin penahanan hingga menyidik dugaan pelanggaran aparat, peran ini dianggap sebagai langkah maju menuju peradilan yang imparsial dan akuntabel.
“Adanya hakim komisaris menjadi terobosan penting dalam RUU KUHAP” ujar Hendrik, Rabu (25/06/2025).
Menurutnya, RUU tersebut menyesuaikan dengan zaman, seperti digitalisasi persidangan, pengaturan plea bargaining, dan alternatif penyelesaian perkara ringan menjadi bagian dari upaya modernisasi hukum acara pidana.
Di sisi lain, kritik mencuat dari kalangan aparat penegak hukum yang menilai peran hakim komisaris justru bisa memperlambat proses penyidikan. Kekhawatiran soal independensi hakim juga muncul karena posisi mereka berada di bawah Mahkamah Agung.
Tak hanya itu, kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia di lapangan jadi sorotan. Digitalisasi, rekaman wajib, hingga pembentukan sistem pengawasan baru memerlukan dukungan teknis yang belum merata di seluruh daerah.
Hendrik juga menyampaikan kritik terhadap Komisi III DPR. Dia meminta proses pembahasan tidak dilakukan terburu-buru, pasalnya RUU KUHAP menyimpan semangat pembaruan hukum yang sangat penting. Publik berharap agar pembahasannya tetap terbuka, melibatkan semua pemangku kepentingan, dan menghasilkan sistem peradilan yang adil, bukan hanya di atas kertas melainkan dalam praktik nyata.
“RUU KUHAP membawa semangat reformasi dalam sistem peradilan pidana Indonesia, namun juga menghadirkan tantangan besar dalam implementasi, jadi jangan buru-buru asal jadi”. Tutup Hendrik yang berprofesi sebagai Advokat.[]