JAKARTA - Politisi Partai Demokrat Jansen Sitindaon secara terbuka menyatakan penyesalannya yang ikut memperjuangkan sistem pemilu dengan proporsional terbuka.
Sistem ini membuat pemilu legislatif semakin menggila atau barbar dengan lomba banyak-banyakan uang untuk membeli suara pemilih.
Praktik jual beli suara itu terjadi mulai dari tingkat DPR RI, DPRD provinsi, hingga DPRD kabupaten kota.
Jansen sendiri ikut Pileg 2024 dengan bertarung di dapil Sumut 3. Dia gagal lolos ke Senayan atau menjadi anggota DPR RI karena hanya meraih 12.461 suara.
"Mohon maaf saya belum terpilih. Namun suara dari teman-teman ini jadi tambahan sehingga satu kursi DPR RI di dapil ini didapat oleh kami Demokrat. Walau bukan saya yang duduk, amanah dari suara teman-teman ini akan kami jaga dan salurkan melalui perwakilan yang nanti duduk di parlemen," tulisnya di X atau dulunya Twitter, Kamis, 14 Maret 2024.
Dia kemudian menyampaikan harapannya ke depan pileg bisa berlangsung dengan lebih baik. Politik uang yang merusak dapat hilang.
"Bersama dengan ini saya juga memohon maaf ke publik dan masyarakat luas karena telah menjadi pejuang sistem terbuka di MK kemarin. Yang ternyata membuat pileg kali ini jadi lebih “barbar” di semua tingkatan. Tanpa pandang bulu mulai DPRD Kab/Kota, Provinsi sampai RI," sebutnya.
Jansen pun mengubah pandangan dan posisinya atas sistem pemilu tersebut. Tak lain karena melihat realitas dan praktik di pemilu kali ini.
"Ternyata saya telah salah berjuang mempertahankan sistem ini," ujarnya.
Sistem terbuka ini kata dia, hanya akan efektif jika dibarengi penindakan terhadap politik uang yang terjadi.
"Itu kuncinya. Tanpa itu, dari pemilu ke pemilu sistem ini akan membuat pemilu legislatif kita tambah rusak. Semua caleg “terpaksa” nebar uang atau sejenisnya ke rakyat. Tanpa itu tidak ada jaminan dia dipilih. Rakyat juga menyambut dengan hangat. Bahkan inilah yang diharapkan datang. Pileg akhirnya jadi ajang banyak-banyakan mendata orang dan nebar uang. Dan ini sudah di level dianggap normal bahkan harus dilakukan jika maju pileg," ungkapnya.
Disebutnya, membagikan ide tidak lagi penting seperti lazimnya pemilu. Yang penting membagikan uang dan banyak-banyakan uang. Karena ini kunci terpilih.
"Belum lagi pemilunya barengan, fokus akhirnya lebih ke pilpres. Pileg jadi “anak tiri”. Mendesak pileg dan pilpres kembali dipisah! Sehingga pelaksanaan/pengawasan pileg fokus. Tidak terbagi," kata dia.
Sebagai peserta yang ada di lapangan ikut pemilu, Jansen menegaskan bahwa mungkin 99 persen caleg terpilih di pemilu kali ini karena politik uang atau varian sejenisnya. Dan ini terjadi di semua tingkatan. Mulai kabupaten/kota sampai RI.
BACA JUGA: Golkar Juara di Simalungun, Ketuanya Beber Resep Pemenangan
"Mungkin 1 persen saja yang murni terpilih tidak melakukan itu. Namun yang sudah membagi uang tidak terpilih jumlahnya lebih banyak lagi," ungkapnya.
Realitas dalam pileg kali ini sebetulnya menurut Jansen, juga sudah terjadi dalam pemilu sebelumnya, namun kali ini lebih barbar.
"Silahkan tanya ke teman-teman yang terpilih — atau tidak terpilih namun suaranya signifikan di atas puluhan ribu — dia habis berapa? Atau dia nyebar berapa puluh atau ratus ribu amplop? Errornya berapa persen? Dll," tukasnya.
Menurut Jansen, keadaan ini tidak bisa didiamkan seakan semua berjalan normal, benar dan baik-baik saja. "Tentu jawabnya tidak! Mari kita benahi dan perbaiki," tukasnya.
Dia berharap kepada para caleg terpilih yang juga bagian “korban” dari sistem dan pileg yang mahal ini, ketika nanti sudah duduk di DPR, melalui prosedur legislasi agar mengubah sistem ini.
"Agar pelan-pelan money politik ini berkurang dan hilang. Tidak terus tambah barbar dari pemilu ke pemilu," sambung Jansen.
Ditambahkannya, ketika penindakan terhadap politik uang gagal atau tidak jalan, karena semua sudah menganggap ini “wajar” dilakukan, maka yang tersisa tinggal mengubah sistemnya. Walau belum tentu juga efektif.
"Sebagaimana ucapan Roscoe Pound yg terkenal, “law as a tool of social engineering”. Mari kita ubah sistem terbuka ini jika tidak dibarengi penindakan. Semua agama sudah menyatakan politik uang haram. UU juga sudah menyatakan ini pidana pemilu. Namun faktanya semua gagal," tandasnya. []