News Sabtu, 12 Februari 2022 | 13:02

JHT Cair di Usia 56 Tahun, DPR: Pemerintah Abai Kondisi Pekerja yang Tertekan Pandemi

Lihat Foto JHT Cair di Usia 56 Tahun, DPR: Pemerintah Abai Kondisi Pekerja yang Tertekan Pandemi Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher.(Foto:Opsi/Istimewa)

Jakarta - Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) RI nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) menuai reaksi dari berbagai pihak.

Bahkan, hingga saat ini sudah banyak petisi penolakan dari kalangan pekerja terkait aturan tersebut.

Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher meminta pemerintah mengkaji ulang, bila perlu mencabut peraturan itu.

"Muatan permenaker tersebut mencederai rasa kemanusiaan dan mengabaikan kondisi pekerja yang tertekan dalam situasi pandemi," kata Netty dalam keterangannya, Sabtu, 12 Februari 2022.

Menurut Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini, ada beberapa pasal dalam Permenaker yang muatannya menunjukkan ketidakpekaan pemerintah pada situasi pandemi Covid-19 yang membuat para pekerja di-PHK.

"Misalnya, aturan mengenai penerimaan manfaat JHT yang baru diberikan kepada peserta setelah berusia 56 tahun. Bayangkan, seorang peserta harus menunggu 15 tahun untuk mencairkan JHT-nya jika ia berhenti di usia 41 tahun. Ini tidak masuk akal," ujarnya.

Menurutnya, aturan tersebut berlaku pada peserta yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri, terkena PHK atau meninggalkan Indonesia selama-lamanya.

Menurut data BPJS Ketenagakerjaan per Desember 2021, total klaim peserta yang berhenti bekerja karena pensiun hanya 3 persen, sedangkan pengunduran diri 55 persen dan alasan terkena PHK mencapai 35 persen.

"Berhenti bekerja karena PHK tentu bukan keinginan pekerja. Berhenti karena pengunduran diri pun bisa karena situasi di tempat kerja yang sudah tidak nyaman," ujarnya.

"Jadi, mengapa JHT yang sebagiannya merupakan tabungan peserta ditahan pencairannya? Bukankah dana yang tidak seberapa tersebut justru dibutuhkan mereka untuk bertahan hidup di masa sulit ini. Jika harus menunggu sampai usia 56 tahun, bagaimana keberlangsungan pendapatan pekerja?" tanya Netty retoris.

Oleh karena itu, dia meminta pemerintah mencabut peraturan tersebut sebagai bukti empati dan keberpihakan pada pekerja di tengah pandemi yang berdampak pada pemiskinan rakyat.

"Apalagi, gelombang PHK dan merumahkan pekerja makin besar. Ini menjadi gambaran betapa pandemi menggerus kemampuan ekonomi keluarga Indonesia. Jika pemerintah tidak menggubris peringatan ini, saya khawatir tekanan hidup dan kesulitan akan membuat rakyat semakin keras menolak dan melawan pemberlakuan peraturan tersebut," katanya.

Lebih lanjut, dia meminta pemerintah agar memperbaiki tata kelola komunikasi publiknya terkait penerapan aturan.

"Pemerintah harus dapat membuka ruang dialog dan mendengarkan aspirasi masyarakat dengan baik. Lakukan sosialisasi dan edukasi secara utuh jika menyangkut regulasi yang pasti akan menyentuh berbagai ruang kehidupan masyarakat secara luas," ucap Netty Aher.

Diketahui, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI & Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Indah Anggoro Putri menyampaikan berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang berpotensi terkena PHK hingga akhir 2021 sebanyak 143.065 orang.

Sementara itu untuk jumlah pekerja yang berpotensi dirumahkan sebanyak 1.076.242 orang, sedangkan jumlah perusahaan yang berpotensi ditutup sebanyak 2.819 perusahaan.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya