Hukum Kamis, 28 Maret 2024 | 18:03

Kasus Aiman Disetop Polda Metro Jaya, IPW dan ICJR: Sudah Sepantasnya

Lihat Foto Kasus Aiman Disetop Polda Metro Jaya, IPW dan ICJR: Sudah Sepantasnya Aiman Witjaksono. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Polda Metro Jaya menghentikan penyidikan kasus dugaan pelanggaran kasus Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU No 1/1946 dengan terlapor Aiman Witjaksono, yang diketahui sebagai Jubir TPN Ganjar-Mahfud.

Penghentian penyidikan kasus Aiman dinilai langkah tepat oleh Indonesia Police Watch (IPW) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam keterangan tertulisnya, menyebut sejak semula pihaknya menilai tidak tepat proses hukum terkait pernyataan Aiman yang menuduh Polri tidak netral dalam Pemilu 2024.

Aiman sendiri menyebut ketidaknetralan itu berdasarkan  keterangan sumber internal Polri.

"Pengenaan Pasal 28 Ayat 2 Jo Pasal 45 A Ayat 2 UU ITE dan Pasal 14 serta Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 terkait penghinaan pada institusi Polri dan penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran adalah tidak tepat," katanya, Kamis, 28 Maret 2024.

Karena kata Sugeng, Kapolri telah menegaskan Polri tidak anti kritik. Dan harus diingat, pernyataan Aiman adalah kebebasan menyatakan pikiran di ruang publik yang dijamin UU.

Dalam Pemilu 2024, selain kasus Aiman, IPW juga mengkritisi langkah Polda Jateng yang memeriksa 176 kades yang berasal dari Kabupaten Karang Anyar.

Termasuk rencana memeriksa para kepala desa di Kabupaten Klaten dan Wonogiri yang dalam kaitan penyelewengan Dana Desa. Tiga kabupaten tersebut adalah kantong suara PDIP. 

IPW memandang langkah Polda Jateng bisa dinilai sebagai politis dan tekanan pada masyarakat dalam rangka pemilu. 

Disebutnya, penghentian kasus Aiman mendapatkan momentum pasca putusan MK No 78/PUU-XXI /2023 yang membatalkan Pasal 14 dan 15 UU No.1 Tahun 1946. 

"Penghentian kasus oleh Polda Metro Jaya akan menepis anggapan Polri tidak netral serta akan menambah citra positif Polri," tukasnya.. 

Dalam keterangan tertulis berbeda, ICJR menilai bahwa penghentian kasus ini sudah seharusnya dan justru mempertanyakan bahwa mengapa kasus ini sempat naik ke penyidikan. 

Sedari awal, isi dari konten yang disebarkan oleh Aiman terkait netralitas APH dalam pemilu lalu adalah suatu bentuk kritik yang seharusnya diterima oleh APH sebagai pengingat. 

Tindakan pihak penyidik yang melanjutkan kasus ini bahkan hingga melakukan penyitaan telepon genggam dengan cara yang tidak sesuai dengan Pasal 38 KUHAP seakan menunjukkan sikap anti kritik. 

"Meskipun penyidikan atas perkara ini dihentikan, sikap yang diambil oleh kepolisian ini seakan ditujukan untuk menimbulkan iklim ketakutan atau chilling effect,” kata Peneliti ICJR Johanna Poerba.

Hal ini sambung dia, sebuah tindakan sewenang-wenang karena dapat menimbulkan ketakutan bagi masyarakat yang ingin menyuarakan gagasan atau kritik demi perbaikan lembaga negara, pejabat, maupun pemerintahan dan menghambat demokrasi.

Di sisi lain kata dia, penghentian penyidikan ini sejalan dengan pencabutan Pasal 14 dan 15 UU No. 1/1946 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 78/PUU-XXI/2023. 

Kedua pasal ini memiliki rumusan unsur yakni, “berita bohong”, “berita yang dilebih-lebihkan atau tidak pasti”, dan “keonaran” yang berpotensi subjektif dan tidak jelas parameter/tolok ukurnya. 

BACA JUGA: IPW Desak Polisi Tuntaskan Dugaan Penggelapan Saham Wartawan Jawa Pos

Keberadaan pasal-pasal ini malah menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis maupun masyarakat yang menggunakan hak berekspresi dan berpendapatnya seperti kasus Aiman.

"Kami mendorong kepolisian melakukan pembinaan internal terhadap jajarannya untuk tidak membuka peluang penggunaan pasal-pasal pidana yang dapat memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi serta berpeluang membunuh demokrasi," tukasnya.

Kemudian, aparat penegak hukum untuk menghentikan proses pidana atas kasus-kasus yang masih berjalan dan diproses dengan dasar Pasal 14 dan 15 UU No. 1/1946. 

Selain kasus Aiman, terdapat beberapa kasus yang diproses dengan pasal-pasal ini sejak 2023 hingga 2024. 

Misal, penyidikan kasus Rocky Gerung atas pernyataannya terkait kepergian Presiden Joko Widodo ke Cina dan IKN dan Palti Hutabarat yang mengunggah rekaman suara tentang dukungan pejabat terhadap salah satu calon presiden.

Berikutnya, aparat penegak hukum juga harus mengacu pada pertimbangan dan hasil Putusan Mahkamah Konstitusi No. 78/PUU-XXI/2023 dalam mengimplementasikan pasal penghinaan individu maupun pasal penyebaran berita bohong yang masih terdapat dalam KUHP maupun UU ITE. 

"Penting bagi aparat untuk mengingat bahwa pembatasan hak berekspresi dan berpendapat harus dilakukan dengan hati-hati agar justru tidak terjadi over kriminalisasi," terang Johanna. 

ICJR juga mendorong pemerintah untuk mencabut pasal penyebaran berita bohong dalam UU ITE dan KUHP Baru. 

Rumusan pasal penyebaran berita bohong dalam UU ITE dan KUHP masih membuka peluang misimplementasi karena masih belum memasukkan batu uji yang jelas. 

Terlebih, dalam KUHP baru, Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP baru ini masih memuat istilah “berita atau pemberitahuan bohong” dan “berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau tidak lengkap” yang tidak jelas parameternya. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya