News Jum'at, 01 November 2024 | 13:11

Kasus Impor Gula Tom Lembong Dianggap Sumir, DPR: Kejagung Harus Transparan!

Lihat Foto Kasus Impor Gula Tom Lembong Dianggap Sumir, DPR: Kejagung Harus Transparan! Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman

Jakarta – Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mendesak Kejaksaan Agung untuk segera memberikan penjelasan detail terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, atau Tom Lembong

Tanpa transparansi yang jelas, ia khawatir kasus ini justru akan dianggap sebagai alat politik dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

"Kejaksaan Agung hendaknya menjelaskan ke publik mengenai kasus dugaan tipikor Tom Lembong. Jangan sampai ketidakjelasan ini menimbulkan tuduhan bahwa pemerintah menggunakan hukum sebagai alat politik," ujar Habiburokhman kepada wartawan, Jumat (1/11/2024).

Menurut Habiburokhman, kasus Tom Lembong, yang berkaitan dengan dugaan penyimpangan dalam impor gula pada periode 2015-2016, memunculkan pertanyaan terkait legalitas keputusan kebijakan yang diambil. 

Ia mengingatkan agar penegakan hukum tetap sejalan dengan cita politik pemerintahan yang bertujuan untuk membangun persatuan dan menegakkan keadilan.

Kasus ini berfokus pada keputusan impor gula kristal mentah (GKM) yang kemudian diolah menjadi gula kristal putih (GKP) oleh pihak swasta—keputusan yang diduga telah menimbulkan kerugian negara senilai Rp 400 miliar. 

Padahal, dalam kebijakan yang diteken Tom Lembong saat menjabat sebagai Mendag, hanya BUMN yang diberi kewenangan untuk mengimpor GKP langsung demi menjaga stok dan harga di dalam negeri.

Namun, pada 2016, ketika Indonesia mengalami kekurangan GKP, jaksa menduga Tom Lembong justru memberikan izin kepada sembilan perusahaan swasta untuk mengimpor GKM, yang kemudian diolah menjadi GKP dan dijual di pasaran dengan harga yang melebihi harga eceran tertinggi (HET). 

Menurut Kejaksaan, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI), BUMN yang seharusnya mengelola impor ini, hanya berperan sebagai pembeli semu, sementara perusahaan-perusahaan swasta menjual langsung gula hasil olahan ke distributor.

Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa PT PPI memperoleh fee Rp 105 per kilogram dari pengadaan ini. 

Namun, keseluruhan laba dari operasi ini jatuh ke tangan pihak swasta, dengan nilai yang seharusnya masuk sebagai pendapatan negara.

Habiburokhman menggarisbawahi bahwa konstruksi hukum dalam kasus ini harus ditinjau kembali secara mendalam, terutama jika tindakan yang dilakukan Tom Lembong dianggap sebagai kebijakan di masanya. 

"Banyak pihak mempertanyakan, apakah ini bukanlah upaya mengkriminalkan kebijakan yang pernah ditempuh di masa lalu?" ujarnya.

Menurut Habiburokhman, setiap langkah hukum yang diambil pemerintah harus benar-benar menjunjung tinggi prinsip keadilan dan tidak membuka ruang bagi spekulasi bermotif politik. 

Jika tidak, ia khawatir kasus ini malah memicu keresahan dan memperlemah kepercayaan masyarakat pada upaya hukum yang sedang berjalan.

Kasus ini juga memancing tanya terkait mekanisme pertanggungjawaban pejabat yang menerbitkan kebijakan yang berujung kerugian negara. 

Dengan perusahaan swasta yang terlibat dalam proses pengolahan dan distribusi gula tersebut, serta keputusan yang berawal dari penugasan langsung oleh Tom Lembong ke PT PPI, kejaksaan menduga ada penyimpangan serius dalam mekanisme tata niaga impor gula saat itu.

Sementara itu, Kejaksaan Agung terus menyelidiki kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam perkara ini. 

Kedua tersangka, yaitu Tom Lembong dan Charles Sitorus, mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, menjadi pusat perhatian publik.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya