Jakarta - Setara Institute menilai negara gagal memenuhi komitmen Hak Asasi Manusia (HAM) pangan terkait kasus mafia minyak goreng.
Kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng dalam beberapa bulan ini menunjukkan lemahnya komitmen dan akuntabilitas pemerintah terhadap mitigasi hak atas pangan sebagai kovenan dasar HAM, dalam rangka mewujudkan keamanan pangan dan kedaulatan pangan (food sovereignty).
"Dalih bahwa dinamika politik global, serta transisi pada biodiesel turut mempengaruhi inflasi dan pasokan CPO, tidak lantas menihilkan tanggung jawab negara," kata Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani dalam keterangan pers dikutip Senin, 25 April 2022.
Dikatakan, penetapan empat orang tersangka kasus persetujuan ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang melibatkan pejabat di Kementerian Perdagangan dan tiga perusahaan sawit besar pada 19 April 2022 lalu, sebagai langkah hukum pemberantasan mafia minyak goreng, menunjukkan adanya persoalan tata kelola kebijakan dan berpotensi menjadi celah yang dimanfaatkan para mafia komoditas bahan pokok.
Setara Institute kata Ismail, menilai langkah Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus mafia minyak goreng patut diapresiasi.
Nama-nama perusahaan dan pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka merupakan aktor penting dan strategis dalam sektor sawit di Indonesia.
Baca juga:
DPR: Bahagiakan Rakyat, Hukum Mafia Minyak Goreng Seadil-adilnya!
Hanya saja, respons pemerintah yang terkesan lamban dan membiarkan persoalan berlarut-larut tanpa solusi kebijakan, memicu ragam kritik dan tuntutan publik.
Permendag Nomor 08/2022 tentang domestic market obligation (DMO) sebesar 20 persen dari produksi dan penetapan harga eceran tertinggi (HET) tidak serta merta memenuhi pasokan CPO nasional dan mendeflasi harga.
Landasan konstitusional hak atas pangan yang diatur dalam kovenan dasar Ekosob serta diratifikasi dalam UU 11/2005 jo UU Pangan 18/2012, sejalan dengan Pasal 28H UUD 1945 seolah diabaikan negara.
"Pada taraf ini, kewajiban negara untuk memenuhi (to fulfill) dan melindungi (to protect) HAM, tanpa bermaksud mengatakan gagal, hampir saja tidak dapat dipertanggungjawabkan," tandas dia.
Di samping itu, kompleksitas respons publik semakin menguat ketika gaya komunikasi pejabat negara di tengah situasi tidak menentu, justru menyampaikan narasi-narasi yang tidak simpatik pada publik.[]