Hukum Jum'at, 12 Agustus 2022 | 19:08

Kasus Pembunuhan Brigadir J Direkayasa, Polri Tak Serius Mereformasi Dirinya

Lihat Foto Kasus Pembunuhan Brigadir J Direkayasa, Polri Tak Serius Mereformasi Dirinya Irjen Ferdy Sambo. (foto: istimewa).
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Kepolisian dinilai belum serius melakukan reformasi institusi. Terbukti masih munculnya rekayasa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Hebatnya, terduga pelaku rekayasa dan pembunuhan itu justru seorang jenderal berbintang dua, yakni Irjen Pol Ferdy Sambo, mantan Kadiv Propam Polri, yang kini menjadi tersangka otak pembunuhan berencana. 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sendiri yang mengumumkan Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai tersangka pada Selasa, 9 Agustus 2022 malam.

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan sebelumnya menyampaikan, bahwa ada peristiwa tembak menembak antara Bharada E dan Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo. 

Sedangkan Kapolri dalam konferensi pers yang dihadiri tim khusus yang dipimpin Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono, menegaskan bahwa tidak ada peristiwa tembak menembak.

Peristiwa yang terjadi sebetulnya adalah penembakan yang mengakibatkan tewasnya Brigadir J pada Jumat, 8 Juli 2022 di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Pelaku dalam peristiwa tersebut melakukan rekayasa kasus. "Rekayasa kasus menjadi sempurna ketika barang bukti di lokasi TKP dibersihkan, dan olah TKP dilakukan secara tidak profesional," kata Ketua YLBHI Muhamad Isnur dalam keterangan tertulisnya diterima Opsi, Jumat, 12 Agustus 2022.

Baca juga:

Polri Rahasiakan Motif, Rocky Gerung: Ucapan Jokowi Tak Didengar Bawahan

Menurut dia, pola-pola rekayasa kasus seperti ini bukan pertama kalinya terjadi. Pada umumnya pola rekayasa kasus dilatarbelakangi adanya serangkaian tindakan kekerasan, penyiksaan, hingga pembunuhan di luar proses hukum atau extra judicial killing. 

Diterangkannya, meskipun Indonesia telah memiliki UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Anti Penyiksaan, namun UU ini belum menjadi rujukan atas terjadinya tindakan penyiksaan. 

Sudah 24 tahun berlakunya UU ini namun peristiwa penyiksaan terus berulang dan belum ada mekanisme pencegahan yang efektif. 

102 Kasus

Isnur lebih jauh mengungkap, LBH-YLBHI di 17 wilayah selama tiga tahun terakhir, yakni 2019-2021, mencatat sebanyak 102 kasus kekerasan dan penyiksaan dengan jumlah korban mencapai 1.088 korban. Sebagian besar kasus-kasus tersebut ditangani langsung LBH-YLBHI.

Dari kasus-kasus tersebut kata dia, terungkap bahwa penyiksaan dilakukan oleh anggota kepolisian pada saat proses berita acara pemeriksaan atau BAP.

Proses penyelidikan dan penyidikan, dalam tahanan, dan sebagian diantaranya menjadi korban salah tangkap, bahkan berujung pada kematian atau pembunuhan di luar proses hukum, serta sebagian lainnya diduga menjadi korban penjebakan kasus kepemilikan narkotika.

Di sisi lain imbuhnya, pejabat atasan kerap membenarkan perilaku tersebut dengan berlindung pada kewenangan diskresi untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri. 

"Maka terjadi pengkondisian untuk mengaburkan fakta-fakta akan suatu peristiwa," beber dia.

Sementara itu kata dia lagi, `arogansi institusi` dan `solidaritas angkatan` di tubuh Polri, di mana sesama anggota Polri terdapat kecenderungan untuk saling menutup-nutupi kesalahan.

Bahkan melindungi sehingga sangat sedikit kasus-kasus kekerasan aparat kepolisian yang dapat dituntaskan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

Baca juga:

Motif Ferdy Sambo Bunuh Brigadir J, Polisi: Karena Marah Istrinya Dilecehkan

Disebutnya, serangkaian kasus penyiksaan hingga pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh anggota kepolisian membuktikan bahwa Polri belum sungguh-sungguh melakukan reformasi kepolisian. 

Polri belum mampu menghilangkan kultur kekerasan internal Polri serta lemahnya fungsi pengawasan terhadap anggota Polri. 

"Apalagi pelaku dalam kasus pembunuhan Brigadir J justru Kadiv Propam yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan kode etik Polri," tandasnya.

Seturut dengan itu, pihaknya kata Isnur mendesak Polri untuk mengusut kasus pembunuhan Brigadir J secara tuntas, profesional, transparan, dan akuntabel.

Polri untuk merujuk UU No. 5/1998 dalam menangani kasus ini, dan keseriusan Polri dalam menjalankan reformasi kepolisian, termasuk reformasi pengawasan internal.

Mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera mempercepat proses revisi KUHAP dalam rangka menjalankan reformasi mendasar peradilan dan pengawasan eksternal kepolisian yang efektif dan mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera membuat mekanisme yang efektif untuk mencegah berulangnya peristiwa penyiksaan.[]

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya