Pilihan Sabtu, 27 Agustus 2022 | 13:08

Kedudukan Polri di Bawah Presiden Sudah Final!

Lihat Foto Kedudukan Polri di Bawah Presiden Sudah Final! Logo Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). (Foto: Web Polri)

Oleh: Irjen Pol (Purn) Drs Sisno Adiwinoto MM (Pengamat kepolisian, Penasihat ISPPI, Penasihat KBPP Polri, Ketua Penasihat Ahli Kapolri)

Sesungguhnya kedudukan Polri di bawah Presiden seperti sekarang ini adalah hasil perjuangan reformasi dan perwujudan dari Demokrasi Pancasila. Jadi, bukan karena peristiwa pembunuhan pada Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J lantas dijadikan jalan menuju reformasi Polri.

Peristiwa pembunuhan dengan "Skenario Sambo yang dibantu Fahmi" merupakan skenario kebohongan konyol yang membodohi kita semua yang sudah dibongkar oleh tim khusus yang dibentuk Kapolri. Masa skenario bohong itu mau dijadikan “naskah akademi” oleh segelintir pihak untuk mereformasi Polri?

Perlu kita sadari bahwa memaksakan Polri di bawah kementerian, bisa menjadi suatu kemunduran nasional, serta menjauhkan Polri dari Presiden dan NKRI.

Masih adanya upaya segelintir pihak yang mencoba membawa Polri "dijauhkan" dari Presiden dan NKRI pada dasarnya hanya akan mendorong Polri untuk didomestikasi sehingga gerak dan pelayanan Polri untuk menjaga keamanan dalam negeri, menegakkan hukum dan memberikan pelayanan publik di bidang keamanan secara langsung untuk bisa dengan cepat dan bermakna tentu akan menjadi berliku dan terhambat. Bisa kita bayangkan, misalnya, apabila dalam situasi COVID-19 yang menggelora beberapa waktu yang lalu, bila Polri di bawah salah satu kementerian, tentu tidak bisa sesigap dan bergerak cepat seperti sekarang ini.

Sejak Era Reformasi yang telah mengubah status polisi dari militer menjadi sipil, dampak nasionalnya telah memberikan kemajuan yang pesat bagi Polri dan kiprahnya dalam menjaga keamanan NKRI semakin humanis dan demokratis. Kelincahan Polri dalam mengawal percepatan program Presiden secara keseluruhan membuat negara ini menjadi aman dan kondusif dalam menjalankan proses pembangunan bangsa dan negara, walaupun sedang dilanda pandemi secara internasional.

Sejak Era Reformasi Polri menjadi tumbuh dan mengakar di dalam masyarakat di mana tingkat kepercayaan publik terhadap Polri semakin meningkat. Polri makin terjauhkan dari lingkungan politik praktis pengambilan keputusan di tingkat nasional dan daerah yang kurang bermanfaat. Sehingga tindakan Polri untuk menegakkan hukum menjadi sangat bernas. Hal tersebut membuat Presiden dan jajarannya dapat dengan tenang menjalankan program pembangunan nasional dengan pengawalan yang optimal dari Polri.

Hiruk pikuk politik dan kontestasinya tidak melibatkan Polri untuk ikut menghabiskan energinya di sana. Sehingga Polri dapat semakin profesional, menjalankan fungsinya sebagai aparat negara yang mengawal keamanan dan tertib sosial dalam negeri, sangat prediktif mengantisipasi perubahan lingkungan strategis, responsible terhadap seluruh warga negara, transparan dan akuntabel dalam menjalankan tugas serta mandat secara berkeadilan dalam menegakkan hukum negara.

Keinginan segelintir pihak yang mendorong Polri di bawah kementerian, di mana harus mengubah konstitusi dan undang-undang, akan menguras energi dan potensi bangsa dan negara. Padahal adanya hasrat segelintir pihak yang menginginkan Polri di bawah kementerian yang nantinya akan menaungi Polri dan juga agar dibentuk Dewan Keamanan Nasional asumsinya hanya agar Polri jangan sendirian merencanakan dan melakukan trajektori serta melakukan tindakan operasionalnya.

Hal ini bisa membuat rantai kerja Polri menjadi lebih panjang dan akan membuat proses pengambilan keputusan strategis operasional menjadi lambat. Belum lagi kedudukan Polri hanya merupakan perangkat eksekutif saja dan di bawah pejabat politik, sementara kedudukan Polri di bawah Presiden sebagai kepala negara menempatkan Polri sebagai perangkat eksekutif dan yudikatif, berarti sekaligus menjadi pemelihara keamanan, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

Dalam perkembangan lingkungan strategis sekarang ini, di mana dunia menjadi lebih terbuka, ancaman bagi NKRI semakin beragam. Dinamika internal, seperti tuntutan berekspresi dan tekanan kelompok-kelompok dominan terhadap kelompok marginal semakin kuat.

Di sini peran Polri sebagai pemelihara, penjaga, pengawal tertib sosial dan penegak hukum justru semakin memerlukan tindakan yang cepat dan tepat.

Polri itu tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan lain, karena statusnya adalah institusi penegak hukum, sama seperti Mahkamah Agung (Kehakiman) dan Kejaksaan Agung (Jaksa).

Bila secara politis Polri didorong menjadi subordinasi suatu kementerian, maka secara nasional beberapa dimensi nasional akan mengalami kemunduran, terutama sektor ekonomi, keamanan dan ancaman terhadap keamanan negara semakin tidak terkendali, termasuk potensi keresahan sosial yang meluas, konflik SARA dan ancaman mayoritas terhadap minoritas, berkembangnya kartel narkotika semakin terbuka.

Polri akan kehilangan elemen vitalnya, menjadi birokrasi yang lambat dan potensi akan diintervensi dalam kontestasi politik yang terus menerus memperebutkan kekuasaan. Tugas utama Polri adalah menjaga tertib sosial dan keamanan nasional, menegakkan hukum dan melakukan pelayanan publik. Dengan lingkup tugas yang meliputi arena yudikatif dan eksekutif ini, Polri tidak bisa digiring menjadi subordinat eksekutif saja.

Justru Polri ini seharusnya dibesarkan lagi karena untuk melayani, mengayomi dan melindungi seluruh masyarakat Indonesia di satu sisi, tetapi juga diberi wewenang untuk bertindak pada sisi yang lain yang akan dibatasi. Menempatkan posisi Polri di bawah kementerian adalah wacana yang jauh dari pilihan ideal.

Penempatan organisasi Polri di bawah Presiden sekarang ini, sudah sesuai dengan: (a) konstitusi, yaitu UUD 1945; (b) sebagai negara hukum harus mengikuti aturan Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 2000, dan (c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.

Argumentasi untuk melihat perlunya fungsi kepolisian di sebuah negara tidak cukup hanya terbatas pada pendekatan politik atau sistem kenegaraan saja. Cara pandang tersebut harus holistik, dengan mempertimbangkan berbagai pendekatan, seperti antropologis-sejarah, politik-hukum, analisis problema yang ada, pendekatan struktural-institusional dan pendekatan falsafah nasional.

Sebagai alat negara, Polri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden selaku kepala negara (head of state). Oleh karenanya usulan menempatkan organisasi Polri harus berada di bawah kementerian adalah pemikiran yang inkonstitusional dan mengingkari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum dan tidak dipahaminya prinsip-prinsip dasar yang menjadi konsekuensinya, yaitu:

Pertama, Polri yang menjalankan tugas-wewenang administrasi di bidang ketertiban sosial, keamanan dan ketertiban umum sebagai bagian dari Kekuasaan Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum, khususnya kekuasaan menyelenggarakan administrasi negara.

Dalam konteks ini, tugas memelihara, menjaga, dan menegakkan keamanan dan ketertiban umum merupakan tugas-wewenang paling awal dan tradisional dari setiap pemerintahan. Bahkan dapat dikatakan bahwa asal mula pembentukan negara dan pemerintahan yang pertama-tama ditujukan pada usaha memelihara, menjaga, dan menegakkan keamanan dan ketertiban umum.

Tugas semacam itu terdapat juga dalam tujuan membentuk Pemerintahan Indonesia Merdeka sebagaimana disebutkan dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang antara lain menyebutkan "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia". Sehingga menjadi sangat logis dan konstitusional Polri tetap di bawah Presiden, karena untuk menegakkan hukum, ketertiban dan keamanan harus ada alat negara (polisi) yang sekaligus melaksanakan tugas-wewenang administrasi presiden di bidang keamanan dan ketertiban umum.

Kedua, sistem administrasi kepolisian di semua negara terkait dengan sistem administrasi negara, sistem peradilan pidana, dan sistem keamanan negara dari negara tersebut adalah saling memperkuat. Demikian pula negara Indonesia, walaupun ada Amandemen UUD 1945, namun suatu fakta bahwa semenjak 1 Juli 1946, Polri merupakan Kepolisian Nasional yang berada di bawah Perdana Menteri/Presiden (Pimpinan eksekutif Tertinggi).

Ketiga, dengan penempatan Polri di bawah Presiden, memungkinkan Kapolri untuk ikut dalam Sidang Kabinet agar situasi dapat secara langsung mengikuti perkembangan situasi nasional sehingga dapat bertindak cepat dalam mengatasi setiap masalah aktual dan strategis. Keikutsertaan Kapolri dalam Sidang Kabinet, bukan berarti Kapolri merupakan menteri sebagai bagian dari anggota kabinet, namun hanya sebagai "cabinet member", tepatnya pejabat negara setingkat menteri.

Keempat, sistem kepolisian yang bersifat terpusat dan berada di bawah langsung perintah presiden merupakan pilihan yang terbaik dalam dinamika demokrasi yang belum terlalu matang, seperti di Indonesia, dengan karakter kebangsaan yang multietnis, multikultural, multireligius dan kepulauan yang banyak. Karena Polri terbukti dapat menjadi perekat bangsa, peredam gejolak sosial dan pemadam "kebakaran” dari gerakan intoleransi maupun gerakan subversif lainnya.

Kelima, dalam format administrasi negara yang memberikan porsi terbesar pada otonomi daerah, maka sistem kepolisian yang terpusat dan solid sangat membantu presiden mengendalikan dan mengontrol perkembangan daerah yang tidak terlalu selaras dengan dinamika daerah lain. Fungsi koordinasi dan konsolidasi nasional masih dapat dikendalikan oleh presiden.

Keenam, kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan yang berada di bawah presiden, memiliki makna bahwa Polri sebagai perangkat pemerintah pusat yang lingkup wewenangnya meliputi seluruh wilayah Indonesia. Satuan kewilayahan Polri (Polda di level provinsi, Polres di level kabupaten/kota, dan Polsek di level kecamatan) merupakan perangkat Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah, bukan perangkat daerah.

Ketujuh, format antisipasi Polri terhadap makna otonomi daerah dapat diperinci, antara lain menyangkut aspek sharing of power sebagai sebuah negara maupun checks and ballances dalam proses pelimpahan wewenang dan pembagian kekuasaan.

Kedelapan, UUD 1945, TAP MPR No. VII/MPR/2000, maupun UU No. 2 Tahun 2002 menegaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum secara nasional.

Dalam konteks ini diperlukan wawasan dan pengalaman yang berdasar "fakta, bukan mitos". Jangan sampai hanya karena mengetahui atau mendengar suatu negara menempatkan organisasi polisi berada di bawah suatu kementerian, lantas ingin menerapkan dalam organisasi polisi di Indonesia atau hanya karena kasus pembunuhan Brigadir J, lantas mengusulkan institusi Polri harus di bawah suatu kementerian.

Sesungguhnya ide kepolisian diletakkan di bawah kementerian bukan saja merupakan pendapat yang sudah usang, yang sudah sering digulirkan mungkin karena adanya kepentingan tertentu atau merupakan ide yang sembarangan dan yang pasti mungkin karena kurang memahami sistem kepolisian di dunia maupun sistem kepolisian yang berlaku di Indonesia.

Polri yang mandiri dan profesional (tidak perlu di bawah kementerian) sudah punya Grand Strategi Polri 2005-2025 dan menyiapkan Grand Strategi Polri 2026-2045 yang memuat bagaimana membangun citra Polri dalam masyarakat dengan berbagai pilihan strategis, yaitu:

1. Mempertahankan pelaksanaan praktik penegakan hukum yang transparan dan akuntabel. Mempertahankan penegakan hukum yang tidak memihak apalagi tajam ke bawah dan tumpul ke atas yang harus dihindari dengan berbagai upaya, mulai dari Mabes sampai polsek. Penegakan hukum harus berorientasi pada keterbukaan, tidak diskriminatif, logis, dapat diaudit secara sosial dan teknis, bersih dari pungli dan tetap mempertahankan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam menggunakan anggaran negara.

2. Segera membangun sistem kajian dan think-thank yang independen dan kuat yang dapat menyokong pemikiran dan pilihan strategi pengembangan Polri di masa mendatang. Dukungan ini termasuk untuk mengkaji berbagai bentuk inovasi yang telah dilakukan oleh berbagai individu Polri yang berada di seluruh Indonesia. Sebagai langkah awal dapat dimulai dari upaya menyatukan dan memanfaatkan pusat kajian yang ada dalam lingkungan Polri, baik di dalam struktur, seperti Puslitbang Polri, lembaga pendidikan, maupun yang berada dalam lingkar kedua, seperti Pusat Kajian Keamanan Nasional Universitas Bhayangkara, Pusat Kajian Kepolisian UBJ. Kajian yang bersifat strategis dan praktis perlu terus menerus dilakukan.

3. Membangun kepercayaan publik dan merebut simpati warga. Pemimpin Polri maupun kepala satwil sampai yang paling rendah, harus mampu membangun sistem dan membuat kebijakan yang dapat meningkatkan kepercayaan publik dan merebut simpati warga. Kebijakan tersebut tentunya tetap diarahkan pada penguatan fungsi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Manfaatkan dan kembangkan dimensi pemolisian masyarakat (community policing). seluruh tugas dan effort pemolisian harus dapat memberikan efek positif bagi upaya membangun kepercayaan publik.

Think-thank harus dapat mengukur dan memantau perkembangan tingkat kepercayaan publik ini. Polri yang sudah memberikan dukungan untuk pencegahan pandemi COVID-19 di seluruh Indonesia dan contoh operasi Nemangkawi di Papua dengan kegiatan bimas Noken sangat memberikan kesan positif bagi Polri, khususnya di masyarakat Papua. Perubahan pada lingkungan strategis telah membuat dunia menjadi tanpa batas dan sangat transparan. Kejadian di salah satu wilayah di Indonesia, dalam waktu singkat segera diketahui oleh dunia. Perkembangan teknologi dan informasi, termasuk transportasi yang sangat pesat, berdampak pada perkembangan kejahatan lintas negara, seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, cyber crime, penyelundupan manusia, senjata dan barang makin menuntut Polri dapat meningkatkan kapasitas kerja sama antarkepolisian negara-negara lain.

Arus informasi yang intensif dan kuat dalam era globalisasi menuntut Polri tidak boleh lengah, apalagi ceroboh dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Jika abai, maka dalam sejenak saja Polri akan menjadi bahan pemberitaan negatif dan akan di-bully. Maka capaian yang sudah baik, tetap harus dijaga, bahkan ditingkatkan.

4. Meningkatkan kapasitas dan keterkaitan bahan pendidikan untuk sumber personil Polri, mulai dari AKPOL-STIK/PTIK-Sempimti dan SPN-STUKPA serta Sumber Sarjana. Keseluruhan sumber rekrutmen personel untuk Polri ini harus mengerti filosofi dasar tugas kepolisian dan akan pergi ke mana dengan tugas-tugas dasar kepolisian tersebut.

5. Perbaikan Postur Anggaran Polri. Polisi yang dapat menarik simpati rakyat adalah mereka yang menghendaki Polri yang profesional dan menjunjung etika. Salah satu cara untuk menjawab tuntutan tersebut, selain Polri dapat mempertahankan kinerja laporan keuangan WTP juga perlu perbaikan dalam postur anggaran kepolisian yang efisien. Peningkatan jumlah anggaran Polri setiap tahunnya harus diikuti dengan peningkatan kinerja Polri. Dengan demikian akan dapat dimaklumi dan dipahami akan adanya postur anggaran yang memadai. Dengan demikian maka penambahan jumlah personel untuk menuju pada rasio yang ideal dengan jumlah penduduk dapat terus didekati.

6. Peningkatan kemampuan pemeliharaan keamanan dalam negeri. Indonesia yang sangat luas dan sangat beragam budaya dan adatnya sangat membutuhkan adanya jaminan keamanan dalam negeri tanpa merusak tatanan sosial adat mereka. Pada masyarakat adat yang terpencil mungkin untuk menjaga keamanan mereka sudah cukup dengan pranata adatnya. Akan tetapi bagaimana apabila mereka menghadapi ancaman besar di luar dari kemampuan pranata adat lokal mereka untuk mengelolanya? Dalam hal ini pemolisian harus menjangkau mereka dalam layanan kepolisian dan meninggalkan gaya militeristik. Polisi harus mampu mengenali dan sekaligus memfungsikan kearifan lokal dalam menjaga keamanan di sekitarnya.

7. Meningkatkan kerja sama kepolisian regional ASEAN dan internasional. Globalisasi selain membawa perubahan juga membawa potensi ancaman transnasional seperti proliferasi senjata konvensional, serangan siber, kekerasan etnik, lalu lintas narkotika, degradasi lingkungan hidup, pandemi, paham radikal dan terorisme dan intoleransi. Di Asia Tenggara, perkembangan lingkungan strategis masih terkendali, meskipun ada gejolak di Myanmar, Thailand selatan, Philipina selatan. Ancamannya antara lain adalah batas negara, lalu lintas narkotika dan penyelundupan manusia, terorisme, penyelundupan senjata api, perdagangan anak dan perempuan, money laundering.

Semoga bermanfaat dan tidak ada lagi pihak yang ingin mendorong Polri di bawah kementerian, sesuatu yang sudah final Polri di bawah Presiden.[] (ANTARA, Sabtu, 27 Agustus 2022)

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya