Hukum Senin, 04 April 2022 | 18:04

Kejaksaan Agung Setujui 8 Pengajuan Restorative Justice

Lihat Foto Kejaksaan Agung Setujui 8 Pengajuan Restorative Justice Ilustrasi restorative justice. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Fadil Zumhana menyetujui delapan dari sembilan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif pada Senin, 4 April 2022.

Terungkap dalam ekspose secara virtual termasuk dihadiri Kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan restorative justice.

Ke-8 berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif di antaranya, tersangka Tomy Hariska dari Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang, yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

Tersangka Herman Bin Nyakrin dari Kejaksaan Negeri Gayo Lues yang disangkakan melanggar Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Tersangka T Munawar Saputra dari Kejaksaan Negeri Pidie Jaya yang disangkakan melanggar Pasal 44 Ayat (1) atau Pasal 44 Ayat (4) UU Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana.

Tersangka M Naser Mustafa dari Kejaksaan Negeri Ternate yang disangkakan melanggar Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Baca juga: Jaksa Agung: Restorative Justice Alternatif Selesaikan Perkara Pidana

Tersangka Dedek Febrian Jaya dari Kejaksaan Negeri Muara Enim yang disangkakan melanggar Pasal 44 Ayat (1) UU Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Tersangka Budi Yanto dari Kejaksaan Negeri Banyuasin yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

Tersangka Edi Irawan dari Kejaksaan Negeri Lubuklinggau yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP tentang Penganiayaan.

Tersangka Nopriani dari Kejaksaan Negeri Bintan yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP Pasal 56 Ayat (1) KUHP tentang Pencurian.

Baca juga: Bentuk Rumah Restorative Justice di 9 Provinsi, Kejagung: Ada Nilai Luhur dalam Pelaksanaannya

Adapun alasan Jaksa Muda Tindak Pidana Umum menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain, para tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana atau belum pernah dihukum. 

Kemudian, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun, telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.

Berikutnya, proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.

Baca juga: USU Apresiasi Jaksa Agung Penerapan Restorative Justice Kasus Narkoba

Jaksa Agung RI Burhanudin menyampaikan bahwa kunci dari restorative justice ini adalah pemberian maaf dari korban sehingga terjadi proses perdamaian. 

Lalu kepada tersangka, Jaksa Agung meminta untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi, serta kepada jajaran Kejaksaan RI agar tidak menyalahgunakan kepercayaan korban kepada institusi Kejaksaan RI.

Atas persetujuan permohonan ini  JAM-Pidum Fadil Zumhana memerintahkan para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, sebagai perwujudan kepastian hukum. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya