Jakarta - Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) dan Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) secara resmi mengajukan Amicus Curiae setebal 35 halaman kepada Mahkamah Agung (MA) terkait kasus sengketa hak cipta antara Agnes Monica (Agnes Mo) dan Ari Bias.
Kasus dengan nomor perkara 92/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2024/PN Niaga Jkt. Pst , yang sebelumnya diputuskan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat , kini memasuki tahap kasasi di MA.
Direktur Hukum FESMI, Panji Prasetyo mengatakan bahwa Amicus Curiae, atau dokumen pendukung hukum, bertujuan agar Mahkamah Agung dapat menolak gugatan yang diajukan penggugat dan mengadili sendiri perkara tersebut.
FESMI, yang diwakili oleh Ikang Fawzi sebagai Wakil Ketua Umum, dan PAPPRI, yang diwakili oleh Ketua Umum Tony Wenas, menilai putusan sebelumnya berpotensi merusak kepastian hukum dalam industri musik Indonesia.
"Kasus ini bukan sekadar soal Agnes Monica sebagai individu, melainkan soal ekosistem musik secara keseluruhan," kata Panji Prasetyo, dikutip Opsi pada Sabtu, 22 Maret 2025.
"Jika putusan ini menjadi preseden, sistem hukum hak cipta kita bisa menjadi kacau,” ujar dia.
Panji bilang, FESMI dan PAPPRI berpendapat bahwa putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dapat menimbulkan kekhawatiran luas, khususnya terkait sistem royalti yang selama ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Jika putusan ini tidak dikoreksi, kata dia, sistem royalti yang dijalankan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dapat terganggu.
Sementara Ketua Bidang Hukum DPP PAPPRI, Marcell Siahaan mengatakan bahwa kasus ini menjadi refleksi penting bagi seluruh pelaku industri musik.
"Momentum ini membuka mata kita untuk kembali bersatu menjaga ekosistem yang kondusif, produktif, dan bermartabat," ujarnya.
Kasus royali yang terjadi bermula dari gugatan Ari Bias terhadap Agnes Monica, di mana Ari mengklaim lagunya digunakan dalam konser tanpa izin dan meminta ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan bahwa Agnes Monica melakukan pelanggaran hak cipta. Putusan ini menimbulkan kontroversi karena berpotensi mengubah tata kelola royalti yang selama ini berjalan.
Dokumentasi program "Asik, Hari Musik" dari Fesmi. (Foto: Istimewa)
Dalam dokumen Amicus Curiae, FESMI dan PAPPRI menekankan beberapa poin penting, yakni:
1. Royalti Kolektif Melalui LMK : Sistem blanket licenses yang diatur dalam UU Hak Cipta memberikan izin otomatis kepada pengguna komersial untuk menggunakan ciptaan, selama royalti dibayar melalui LMK.
2. Tanggung Jawab Penyelenggara Pertunjukan : Dalam konteks konser, penyelenggara pertunjukan yang bertanggung jawab untuk membayar royalti, bukan pelaku pertunjukan seperti penyanyi atau artis.
3. Kesalahan dalam Penentuan Ganti Rugi : Gugatan ganti rugi harus didasarkan pada kerugian nyata yang dapat dibuktikan, bukan pada denda pidana yang berlaku di ranah hukum publik.
FESMI dan PAPPRI berharap Mahkamah Agung mempertimbangkan dampak putusan ini terhadap seluruh pelaku industri musik. Dengan koreksi yang tepat, mereka yakin keadilan dapat ditegakkan, sekaligus menjaga stabilitas ekosistem musik Indonesia yang terus berkembang.
Baca juga: Serikat Perangkai Kebenaran Desak Pemerintah Ambil Sikap atas Polemik Royalti Musik
Baca juga: Rayakan Hari Musik Nasional 2025, FESMI Gelar Program Seru di Sarinah
Melalui pengajuan ini, FESMI dan PAPPRI menunjukkan komitmen mereka dalam melindungi hak musisi dan pencipta lagu demi ekosistem musik yang lebih baik dan berkeadilan. []