Jakarta - Komnas HAM mencatat terjadinya dugaan kriminalisasi terhadap masyarakat sipil terkait dengan konflik agraria dalam tiga bulan terakhir.
Data Pengaduan Komnas HAM menunjukkan terdapat 13 aduan terkait dugaan kriminalisasi pada permasalahan agraria dengan jumlah korban mencapai 13 orang.
Sementara untuk pihak yang diadukan adalah Polri sebanyak 8 aduan, Korporasi 3 aduan, Pemerintah Daerah, dan kelompok masyarakat masing-masing 1 aduan.
Untuk isu aduan, diantaranya isu lahan/tanah menjadi terbanyak diadukan 7 aduan, kehutanan 2 aduan, kriminalisasi HRD 1 aduan, kekerasan/ penyiksaan oleh aparat 1 aduan, penetapan tersangka tidak sesuai prosedur 1 aduan, dan pemanggilan tidak sesuai prosedur 1 aduan.
"Secara khusus, Komnas HAM memberikan atensi kepada korban dugaan kriminalisasi terkait konflik agraria yang merupakan bagian dari pembela HAM," kata Saurlin P Siagian selaku Komisioner Pengkajian dan Penelitian/Ketua Tim Agraria pada Selasa, 2 April 2024.
Dugaan kriminalisasi terhadap Daniel Frits Maurits Tangkilisan oleh Polres Jepara, Jawa Tengah. Daniel merupakan pembela HAM yang menyuarakan penghentian pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat tambak udang ilegal di wilayah Karimun Jawa melalui media sosial.
Dugaan kriminalisasi disertai tindakan tidak manusiawi terhadap sembilan Anggota Kelompok Petani Saloloang, Kalimantan Timur. Sembilan petani Saloloang menolak menyerahkan lahan kebunnya kepada Bank Tanah untuk proses pembangunan bandara VVIP Ibu Kota Nusantara (IKN).
Dugaan kriminalisasi terhadap Ketua Komunitas Adat Dolok Parmonangan. Komunitas adat di Desa Dolok Parmonangan yang mempertahankan tanah dan hutan adat di Dolok Parmonangan, kec Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara dari Perusahaan PT Toba Pulp Lestari, yang mengklaim memiliki konsesi di desa Parmonangan.
Dugaan kriminalisasi terhadap 13 Warga Desa Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur. 13 Warga Pakel ini adalah kelompok yang berkonflik dengan perusahaan yang datang ke desa mereka, PT Bumi Asri, yang mengklaim memiliki HGU di Desa Pakel.
Dugaan kriminalisasi terhadap 4 orang warga Kampung Bayam oleh PT JakPro atas dugaan memasuki pekarangan orang lain yang dilaporkan ke Polres Jakarta Utara.
Dalam kasus ini, Komnas HAM sedang mengupayakan penyelesaian secara mediasi atas permasalahan dampak penggusuran dalam pembangunan Jakarta International Stadium, namun laporan polisi tersebut tetap diproses oleh Polres Jakarta Utara.
BACA JUGA: Seorang Mahasiswa Asal Siantar Diciduk saat Aksi Masyarakat Adat di Polda Sumut
"Komnas HAM berpandangan bahwa kelima kasus tersebut menjadi gambaran penanganan konflik agraria yang tidak berperspektif HAM dimana setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata," jelas Saurlin.
Disebutnya, jaminan perlindungan pembela HAM telah diatur dalam Pasal 28 ayat 2 UUD 1945, Pasal 100 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, Peraturan Komnas HAM No 5 Tahun 2015 tentang Prosedur Perlindungan Terhadap Pembela HAM, dan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) No 6 tentang Pembela HAM.
Perlindungan pembela HAM juga menjadi salah satu rekomendasi yang diterima Pemerintah Indonesia dalam Universal Periodic Review (UPR) ke-4 Dewan HAM PBB. Prinsip dan komitmen tersebut seharusnya menjadi jaminan bagi setiap orang yang sedang memperjuangan lingkungannya.
"Komnas HAM memandang perlu untuk memastikan setiap peristiwa dalam penanganan konflik agraria tidak melanggar prinsip-prinsip HAM," tukasnya.
Untuk itu kata Saurlin, Komnas HAM merekomendasikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Menteri ATR/Badan Pertanahan Nasional untuk menerapkan prinsip Persetujuan atas Dasar Informasi di awal tanpa paksaan (Free Prior and Informed Consent), sebelum memulai perencanaan pemberian izin sumber daya alam kepada para pihak.
Aparat Penegak Hukum (Penyidik Polri, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim) untuk mengedepankan keadilan restoratif dalam mengadili peristiwa yang terkait dengan konflik agraria, termasuk yang melibatkan pembela HAM.
Kapolri untuk memberikan sanksi terhadap anggota yang terbukti melakukan kriminalisasi pada pembela HAM dan masyarakat yang sedang memperjuangkan hak-haknya. []