Bogor - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkap kompleksitas pendirian rumah ibadah. Dia menganjurkan ada ada akulturasi, adaptasi, dan pembauran, serta hindari eksklusivitas.
Disebutnya, founding fathers Indonesia sudah memahami tentang pluralisme adalah sebuah keniscayaan dan disebutnya sebagai takdir dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tidak banyak negara yang plural seperti Indonesia. Dia memberi contoh, Afganistan hanya dihuni tujuh suku, dan 99 persen satu agama.
Mereka lebih awal merdeka dari Indonesia, namun sampai hari ini konflik di Afghanistan tidak pernah selesai. "Apalagi bangsa yang pluralis seperti Indonesia," ujarnya saat memberi sambutan peresmian GKI Pengadilan Bogor, Minggu, 9 April 2023.
Disebutnya, UU yang dibuat para founding fathers sudah menjamin dalam konstitusi pada Pasal 29 Ayat 2, di mana negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
"Ini adalah jaminan dari negara. Persoalannya, yang dijamin itu adalah untuk memeluk agama, dan menjalankannya. Teknis untuk menjalankannya ini yang kadang-kadang bikin masalah," bebernya.
Pemerintah kemudian melahirkan Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Kerukunan Beragama.
Di sana diatur termasuk pembentukan FKUB, dan khusus Pasal 14 mengenai pendirian tempat ibadah yang disyaratkan empat hal.
BACA JUGA: Wali Kota Bogor Bima Arya: Toleransi Tidak Bisa Tumbuh hanya dengan Retorika dan Narasi
Diantaranya, mengatur syarat minimal 90 jemaah, harus ada dukungan 60 warga sekitar, harus ada rekomendasi dari dinas agama di lingkungan masing-masing, dan ada rekomendasi dari FKUB.
"Dalam praktik ini banyak masalah," tukasnya.
Misalnya untuk syarat jemaah 90 orang. Begitu yang melakukan ibadah kurang dari 90 orang, mulai timbul protes, terutama jika ibadah dilakukan di rumah atau ruko.
"Padahal ruko tersebut bukan tempat ibadah, bukan rumah ibadah. Pro kontra muncul, ada yang mengatakan itu rumah ibadah, kurang dari 90 bubarin, protes macam-macam," terangnya.
Kemudian soal dukungan 60 orang warga. Warga bisa jadi memberikan dukungan, tapi ada kelompok-kelompok tertentu dari pihak-pihak lain mempengaruhi masyarakat jangan sampai dapat 60 dukungan.
Tito juga menyinggung masalah di internal FKUB sendiri. Banyak FKUB yang tidak aktif dan juga tidak mendapatkan anggaran dari kepala daerah.
Pengalaman Tito saat menjabat kapolri dalam menangani konflik, biasanya FKUB aktif punya program pertemuan bulanan, membahas tiap ada masalah-masalah.
Kalau mereka rajin dalam pertemuan, bisa selesai masalahnya. Tapi yang kurang ketemu, ya responsif begitu pecah, baru kemudian dikumpulkan.
"Kuncinya adalah kepala daerah, yaitu menganggarkan. Coba cek daerah-daerah ada FKUB yang dianggarkan oleh kepala daerah, ada yang tidak menganggarkan," terangnya.
Tito mengingatkan, kalau sudah terjadi pecah konflik termasuk soal agama harganya mahal sekali.
Dia mencontohkan kasus Poso. Dua tahun menangani kasus tersebut.
"Kami dua tahun di Poso. Perih melihatnya. Masyarakat Kristen Islam tidak pernah masalah sebelum 1998, bahkan satu rumah ada Islam ada Kristen. Tapi kemudian terbelah dan saling membunuh, korbannya ribuan," bebernya.
BACA JUGA: Tito Karnavian: GKI Bogor Tempat Fenomenal untuk Bangsa Indonesia
Kalau sudah begitu kata Tito, costnya sangat tinggi. Padahal kalau dirawat kerukunan antar agama, costnya lebih rendah.
"Maka itu kami akan tekankan kembali untuk FKUB untuk dibiayai dan mereka buat program, kami akan memberikan dorongan dan evaluasi FKUB mana yang gak jalan mana yang jalan. Kalau yang jalan relatif akan terkonsolidasi mediasinya," tandas eks Kapolri itu.
Demikian dengan kementerian agama mempengaruhi dalam pemberian IMB rumah ibadah. Karena itu juga tergantung dari political will kepala daerah.
"Ini risiko kita kadang-kadang dengan pilkada langsung. Ini kalau ada dengan PJ ini gampang, PJ yang kira-kira gak berani untuk menegakkan pluralisme, kita ganti. Tapi kalau yang pilkada, kan dapat suara dari rakyatnya. Takut kalah, akhirnya pro kepada yang dianggapnya mayoritas.Tapi itu tidak melindungi konstitusi. Nah ini juga problema akhirnya, seperti kasus di Jawa Barat, itu ada yang di Banten, gak berani keluarkan IMB, ini persoalan," tuturnya.
Persoalan kata Tito, muncul dari kelompok tertentu yang tidak menghendaki, dianggap ekspansi agama tertentu, dan ada juga karena masalah teknis lapangan.
"Saya pernah mengalami salah satu misalnya, maaf ini bisa jadi contoh di sini nanti, yaitu perlu adanya akulturasi, adaptasi, pembauran. Kepada masyarakat di sekitar tempat ibadah itu, ini sangat penting," ungkapnya.
BACA JUGA: Temui Jemaat GKPS Purwakarta, PP GMKI: Penyegelan Ini Diskriminatif, Kami akan Kawal
Tito berbagi pengalaman di Jakarta Timur, ada pendirian gereja ditolak masyarakat. Masalah yang setelah didalami ternyata simpel.
Tempat ibadah di dalam gang. Pada hari minggu mobil diparkir sembarangan, sehingga macet.
Kedua, warga jemaat tidak mau membaur. Ketika lebaran tidak datang atau berkunjung pada masyarakat dan tokoh-tokoh sekitar, hingga akhirnya timbul kejengkelan dari masyarakat.
"Saya kemudian memberikan bantuan beras, tapi bukan saya yang berikan. Saya kasihkan ke pengurus, pengurusnya berangkat semua ke tokoh-tokoh untuk memberikan beras ke masyarakat," bebernya.
Dia berujar, Klenteng di Aceh, tidak ditolak dan tidak diserang. Karena jemaat Klenteng berakulturasi, beradaptasi, dan masyarakat membutuhkan mereka. Akhirnya masyarakat di sekitar menjadi buffer zone.
"Eh, jangan diganggu itu, tiap kami lebaran, mereka datang lho, setiap ada zakat, kami dibantu beras, banyak masyarakat membela. Nah yang eksklusivitas ini harus dihindari. Saya berharap GKI yang sekarang juga bergaul dengan masyarakat sekitar, apalagi ini di bulan Ramadan, mulai waktunya zakat, sadakah untuk umat Islam, tidak ada salahnya membantu masyarakat tidak mampu sambil juga diskusi dan berdialog dengan masyarakat sekitar," katanya. []