Â
Medan — Sahala Pasaribu dari Masyarakat Adat Komunitas Op. Nasomalo Marhohos Natinggir, Kabupaten Toba, Sumatra Utara, menyampaikan kesaksian mengenai konflik yang mereka hadapi dengan perusahaan PT Toba Pulp Lestari atau TPL.
Disampaikannya saat hadir dalam Seminar Kolaboratif: Peran Agama dalam Isu Lingkungan yang diselenggarakan di UIN Sumatera Utara, Medan pada Selasa, 18 November 2025.
“Selama enam tahun kami menghadapi intimidasi dan kekerasan. Sebanyak 22 kendaraan kami dirusak dan dua anggota masyarakat terluka. Ruang hidup kami terus menyempit karena tanaman dirampas perusahaan. Kami berharap dukungan, termasuk dari mahasiswa, untuk memperjuangkan hak-hak kami,” tuturnya.
Direktur KSPPM Roki Pasaribu yang menjadi salah seorang pembicara dalam seminar, menampilkan video kondisi masyarakat adat yang terdampak penurunan kualitas hidup akibat konflik agraria dan eksploitasi lingkungan.
“Konflik agraria yang berkepanjangan menyebabkan pemiskinan masyarakat pedesaan, meningkatnya kriminalisasi, penggusuran, dan krisis iklim,” katanya.
Rokki menyoroti bahwa perempuan adalah kelompok yang paling terdampak, terutama akibat hilangnya akses terhadap sumber daya alam dan air bersih.
Hening Parlan selaku Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia kesempatan yang sama mengungkap bahwa kerusakan lingkungan di Sumatera Utara terus memburuk.
"Bencana ekologis semakin sering terjadi, dan konflik berbasis sumber daya alam tak kunjung reda. Kondisi ini menuntut peran lebih kuat dari tokoh agama, akademisi, dan komunitas untuk bersama-sama memperjuangkan keadilan ekologis," kata Hening di depan para peserta seminar.
Seminar itu sendiri mempertemukan akademisi, aktivis masyarakat sipil, dan pemimpin komunitas untuk membangun kolaborasi lintas sektor dalam merespons krisis lingkungan.
Hening menekankan pentingnya kontribusi generasi muda dalam aksi lingkungan yang berakar pada nilai spiritual.
“Bagi anak muda, khususnya mahasiswa UIN Sumatera Utara, mari menjadikan keimanan sebagai landasan gerak. Nilai-nilai agama dapat menjadi spirit dalam menjaga bumi, mulai dari membuat film pendek, melakukan pendampingan, hingga berkampanye di media sosial,” kata dia.
Hening pun mengajak komunitas lintas iman untuk memperkuat solidaritas menghadapi krisis ekologis yang semakin parah.
Dari perspektif akademik, Dr. Faisal Riza dari UIN Sumatera Utara memaparkan bahwa satu dekade terakhir menunjukkan peningkatan konflik agraria yang berdampak serius pada masyarakat.
“Kebijakan negara yang berorientasi pada teritorialisasi sumber daya agraria dan komodifikasi alam berpotensi merampas tanah masyarakat adat dan lokal,” jelasnya.
Faisal menekankan bahwa pengabaian konsultasi dan partisipasi masyarakat adat dapat menghilangkan hak tradisional mereka.
“Pelanggaran hak masyarakat adat berujung pada marginalisasi yang semakin mendalam,” tukasnya.
Seminar menghasilkan sejumlah rekomendasi, antara lain penguatan kurikulum ekoteologi, perluasan jejaring lintas iman, serta kolaborasi kampus–komunitas dalam memastikan keberlanjutan lingkungan di Sumatera Utara.
Kegiatan diharapkan dapat membangun ruang dialog kritis antara akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil terkait dampak sosial-ekologis dari aktivitas industri di kawasan Danau Toba, sekaligus memperkuat gerakan bersama untuk menghentikan praktik perusakan lingkungan. []