Jakarta – Konflik internal di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memasuki babak baru yang makin panas.
Krisis ini dipicu oleh rekomendasi pemberhentian Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), oleh Rais Aam KH Miftachul Akhyar, yang kemudian ditolak keras oleh kubu Gus Yahya. Situasi kini memunculkan dua klaim kepemimpinan yang saling bertolak belakang.
Dasar Pemberhentian dari Syuriyah
Rekomendasi pemberhentian Gus Yahya berasal dari Rapat Harian Syuriyah PBNU pada Kamis, 20 November 2025.
Rapat yang dihadiri 37 dari 53 anggota itu menilai Gus Yahya melakukan sejumlah pelanggaran serius.
Dua poin utama yang diangkat adalah undangan kepada akademisi yang dikaitkan dengan jaringan Zionisme Internasional dalam program Akademi Kepemimpinan Nasional (AKN) NU, yang dinilai melanggar nilai Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah. Selain itu, Syuriyah juga menilai adanya penyimpangan dalam tata kelola keuangan PBNU.
Berdasarkan evaluasi tersebut, Syuriyah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4785 yang secara resmi memberhentikan Gus Yahya efektif sejak Rabu, 26 November 2025 pukul 00.45 WIB.
Penolakan dan Kontra-Langkah Kubu Gus Yahya
Gus Yahya membantah keras keabsahan pemberhentian tersebut. Dalam konferensi pers di Surabaya, Minggu, 23 November 2025, ia menegaskan bahwa mandatnya sah hingga lima tahun berasal dari Muktamar ke-34 (2021) dan hanya Muktamar yang berwenang memberhentikannya.
"Saya sama sekali tidak tebersit pikiran untuk mundur," tegasnya.
Tak tinggal diam, Gus Yahya yang mengklaim masih sebagai Ketua Umum sah memimpin Rapat Harian Tanfidziyah pada Jumat, 28 November 2025.
Rapat itu mencopot Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dari jabatan Sekretaris Jenderal dan Gudfan Arif dari posisi Bendahara Umum. Keduanya digantikan oleh Amin Said Husni (Sekjen) dan Sumantri (Bendahara Umum). KH. Masyhuri Malik juga diangkat menjadi Wakil Ketua Umum.
Mediasi Kiai Sepuh dan Temuan Pelanggaran Serius
Menyikapi konflik,sejumlah kiai sepuh membentuk Forum Sesepuh Nahdlatul Ulama. Forum yang diprakarsai KH Anwar Manshur dan KH Nurul Huda Djazuli ini menggelar pertemuan di Ploso, Kediri, Minggu, 30 November 2025 dan Tebuireng, Jombang, 6 Desember 2025, dengan mengundang berbagai tokoh termasuk Gus Yahya.
Usai pertemuan di Tebuireng, juru bicara forum, KH Oing Abdul Muid (Gus Muid), menyampaikan bahwa forum menemukan indikasi pelanggaran atau kekeliruan serius dalam pengambilan keputusan oleh Ketua Umum (Gus Yahya) yang perlu diklarifikasi lebih lanjut melalui mekanisme organisasi.
Penunjukan Pj Ketum dan Penolakan Kubu Gus Yahya
Langkah terbaru datang dari Rapat Pleno Syuriyah yang digelar di Hotel Sultan,Jakarta, pada Selasa malam, 9 Desember 2025.
Rapat yang dipimpin Rais Syuriyah Muhammad Nuh itu menetapkan KH Zulfa Mustofa sebagai Pelaksana Tugas (Pj) Ketua Umum PBNU untuk sisa masa jabatan hingga Muktamar 2026.
Zulfa Mustofa dalam pernyataannya berkomitmen melakukan normalisasi organisasi dan konsolidasi internal, dengan tetap mengedepankan marwah NU.
Namun, keputusan pleno ini langsung ditolak oleh kubu Gus Yahya. Sekjen dari kubu tersebut, Amin Said Husni, menyatakan rapat itu tidak sah karena hanya dihadiri segelintir anggota (sekitar seperempat dari total) dan mengabaikan seruan kiai sepuh di Ploso serta Tebuireng yang menegaskan bahwa pemakzulan Ketua Umum berlawanan dengan AD/ART.
Amin juga menyampaikan permohonan maaf kepada warga nahdliyin dan masyarakat luas atas konflik internal ini, terutama di tengah musibah bencana yang melanda Sumatra.
Konflik ini telah menempatkan PBNU pada situasi dualisme kepemimpinan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Di satu sisi, struktur baru di bawah Pj Ketum Zulfa Mustofa yang didukung Syuriyah. Di sisi lain, struktur di bawah Gus Yahya yang mengklaim legitimasi dari Muktamar.
Jalan keluar konstitusional tertinggi, Muktamar, baru akan digelar pada 2026. Sementara itu, upaya mediasi oleh kiai sepuh dan musyawarah internal organisasi diprediksi akan terus berlanjut untuk mencari titik temu dan mencegah perpecahan yang lebih dalam di tubuh NU.[]