Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendatangi Komisi I dan III DPR RI pada Senin, 3 Maret 2025, untuk menyampaikan surat terbuka penolakan terhadap pembahasan RUU TNI dan Polri.
Menurut KontraS, kedua RUU ini dinilai tidak mampu menyelesaikan masalah kultural yang ada di tubuh TNI dan Polri.
Kepala Divisi Hukum KontraS, Andrie Yunus, menjelaskan bahwa substansi dalam RUU TNI dan Polri justru berpotensi menimbulkan masalah baru.
"Kami menilai revisi undang-undang ini tidak mampu menjawab persoalan kultural di institusi TNI maupun Polri," ujar Andrie di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Khusus untuk RUU Polri, Andrie menyoroti potensi tumpang tindih kewenangan antara Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Hal ini disebabkan oleh penambahan kewenangan intelijen dan keamanan bagi Polri dalam RUU tersebut.
"Ini bisa menciptakan konflik kewenangan yang tidak perlu," tegasnya.
Sementara itu, terkait RUU TNI, KontraS mengkritik rencana perluasan jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit aktif. Andrie menilai hal ini berpotensi mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru.
"Ini sangat bermasalah dan berisiko mengulang rezim Soeharto selama 32 tahun," tambahnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, menyebut bahwa salah satu poin dalam revisi UU TNI adalah perubahan masa pensiun dan usulan penghapusan larangan prajurit berbisnis.
Saat ini, usia pensiun prajurit TNI diatur dalam Pasal 53 UU Nomor 34 Tahun 2004, yaitu 58 tahun untuk perwira dan 53 tahun untuk bintara dan tamtama.
"Pembahasan seputar masa pensiun itu masih berlangsung," kata Adies, Selasa, 18 Februari 2025.
Anggota Komisi I DPR, Hasanuddin, menyatakan bahwa pembahasan RUU TNI masih terbuka untuk perubahan pasal-pasal tertentu. Meski pemerintah telah mengirim Surat Presiden (Surpres) untuk memulai pembahasan, jadwal resmi belum ditetapkan.
"Dinamika pembahasan antara pemerintah dan DPR masih mungkin terjadi, termasuk penambahan atau perubahan pasal," ujar Hasan, Kamis, 20 Februari 2025.[]